Rabu, 07 Maret 2012

Larangan Bagi Wanita Haid


Darah haid adalah darah normal pada wanita, berwarna hitam pekat dan berbau tidak enak, keluar dari tempat dan waktu tertentu. Darah ini penting sekali dipahami baik bagi wanita itu sendiri, termasuk pula bagi pria karena ia nantinya menjadi pendamping wanita atau memiliki sanak keluarga  yang mesti ia jelaskan tentang masalah ini. Yang muslim.or.id angkat kali ini mengenai masalah larangan bagi wanita haid. Yaitu hal-hal apa saja yang tidak boleh dilakukan. Dan hal yang dilarang ini juga berlaku bagi wanita nifas. Juga ada sedikit penjelasan mengenai hal-hal yang sebenarnya bukan larangan.
Larangan pertama: Shalat
Para ulama sepakat bahwa diharamkan shalat bagi wanita haid dan nifas, baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Dan mereka pun sepakat bahwa wanita haid tidak memiliki kewajiban shalat dan tidak perlu mengqodho’ atau menggantinya ketika ia suci.
Dari Abu Sai’d, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ ، وَلَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا
Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa? Itulah kekurangan agama si wanita. (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari no. 1951 dan Muslim no. 79)
Dari Mu’adzah, ia berkata bahwa ada seorang wanita yang berkata kepada ‘Aisyah,
أَتَجْزِى إِحْدَانَا صَلاَتَهَا إِذَا طَهُرَتْ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ كُنَّا نَحِيضُ مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلاَ يَأْمُرُنَا بِهِ . أَوْ قَالَتْ فَلاَ نَفْعَلُهُ
Apakah kami perlu mengqodho’ shalat kami ketika suci?” ‘Aisyah menjawab, “Apakah engkau seorang Haruri? Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk mengqodho’nya. Atau ‘Aisyah berkata, “Kami pun tidak mengqodho’nya.” (HR. Bukhari no. 321)
Larangan kedua: Puasa
Dalam hadits Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR. Muslim no. 335) Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haid dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’ puasanya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28/ 20-21)
Larangan ketiga: Jima’ (Hubungan intim di kemaluan)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum muslimin sepakat akan haramnya menyetubuhi wanita haid berdasarkan ayat Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.” (Al Majmu’, 2: 359) Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Menyetubuhi wanita nifas adalah sebagaimana wanita haid yaitu haram berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Al Fatawa, 21: 624)
Allah Ta’ala berfirman,
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari (hubungan intim dengan) wanita di waktu haid.” (QS. Al Baqarah: 222). Imam Nawawi berkata, “Mahidh dalam ayat bisa bermakna darah haid, ada pula yang mengatakan waktu haid dan juga ada yang berkata tempat keluarnya haid yaitu kemaluan. … Dan menurut ulama Syafi’iyah, maksud mahidh adalah darah haid.” (Al Majmu’, 2: 343)
Dalam hadits disebutkan,
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-
Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Al Muhamili dalam Al Majmu’ (2: 359) menyebutkan bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid, maka ia telah terjerumus dalam dosa besar.”
Hubungan seks yang dibolehkan dengan wanita haid adalah bercumbu selama tidak melakukan jima’ (senggama) di kemaluan. Dalam hadits disebutkan,
اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
Lakukanlah segala sesuatu (terhadap wanita haid) selain jima’ (di kemaluan).” (HR. Muslim no. 302)
Dalam riwayat yang muttafaqun ‘alaih disebutkan,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا ، فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يُبَاشِرَهَا ، أَمَرَهَا أَنْ تَتَّزِرَ فِى فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ يُبَاشِرُهَا . قَالَتْ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَمْلِكُ إِرْبَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa di antara istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang mengalami haid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin bercumbu dengannya. Lantas beliau memerintahkannya untuk memakai sarung agar menutupi tempat memancarnya darah haid, kemudian beliau tetap mencumbunya (di atas sarung). Aisyah berkata, “Adakah di antara kalian yang bisa menahan hasratnya (untuk berjima’) sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menahannya?”   (HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 293). Imam Nawawi menyebutkan judul bab dari hadits di atas, “Bab mencumbu wanita haid di atas sarungnya”. Artinya di selain tempat keluarnya darah haid atau selain kemaluannya.
Larangan keempat: Thawaf Keliling Ka’bah
Ketika ‘Aisyah haid saat haji, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
فَافْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى
 “Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji selain dari melakukan thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.”  (HR. Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211)
Larangan kelima: Menyentuh mushaf Al Qur’an
Orang yang berhadats (hadats besar atau hadats kecil) tidak boleh menyentuh mushaf seluruh atau sebagiannya. Inilah pendapat para ulama empat madzhab. Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al Waqi’ah: 79)
Begitu pula sabda Nabi ‘alaihish sholaatu was salaam,
لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Bagaimana dengan membaca Al Qur’an? Para ulama empat madzhab sepakat bolehnya membaca Al Qur’an bagi orang yang berhadats baik hadats besar maupun kecil selama tidak menyentuhnya.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Diperbolehkan bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al Qur’an menurut pendapat ulama yang paling kuat. Alasannya, karena tidak ada dalil yang melarang hal ini. Namun, seharusnya membaca Al Qur’an tersebut tidak sampai menyentuh mushaf Al Qur’an. Kalau memang mau menyentuh Al Qur’an, maka seharusnya dengan menggunakan pembatas seperti kain yang suci dan semacamnya (bisa juga dengan sarung tangan, pen). Demikian pula untuk menulis Al Qur’an di kertas ketika hajat (dibutuhkan), maka diperbolehkan dengan menggunakan pembatas seperti kain tadi.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 10: 209-210)
Hal-Hal yang Masih Dibolehkan bagi Wanita Haid dan Nifas
  1. Membaca Al Qur’an tanpa menyentuhnya.
  2. Berdzikir.
  3. Bersujud ketika mendengar ayat sajadah karena sujud tilawah tidak dipersyaratkan thoharoh menurut pendapat paling kuat.
  4. Menghadiri shalat ‘ied.
  5. Masuk masjid karena tidak ada dalil tegas yang melarangnya.
  6. Melayani suami selama tidak melakukan jima’ (hubungan intim di kemaluan).
  7. Tidur bersama suami.
Adapun tentang masalah lainnya, muslim.or.id akan membahasnya di kesempatan yang lain, bi idznillah.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

@ Riyadh, KSA, 13 Rabi’ul Awwal 1433 H
Penulis: Muhammad Abdul Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Prinsip Seorang Muslim Kala Mengais Rizki dan Ingin Sembuh dari Penyakit


Dalam mengais rezeki, hendaknya setiap muslim selalu berprinsip mencari yang halal, bukan sekedar mendapatkan yang banyak. Begitu pula saat menerima cobaan berupa sakit, maka hendaknya memperhatikan pengobatan yang disyariatkan agama, tidak berprinsip “yang penting cepat sembuh.” Mari kita perhatikan hal-hal yang menyangkut cara berpikir yang harus ada pada diri seorang muslim.
1. Rezeki setiap manusia bahkan setiap makhluk sudah dijamin Allah Ta’ala
{وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرض إِلا عَلَى الله رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ } [هود: 6]
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Al Lauh Al Mahfuz).” (QS. Huud: 6).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah ta’ala mengabarkan bahwasanya Dia Yang menjamin akan rezeki seluruh makhluk, dari seluruh binatang melata di bumi, besar kecil dan daratan atau lautannya.” (Lihat kitab Tafsir Al Quran Al Azhim, pada ayat di atas).
Syaikh As Sa’dy rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah seluruh yang berjalan di atas muka bumi baik dari manusia atau hewan darat atau laut, maka Allah Ta’ala telah menjamin rezeki dan makanan mereka, semuanya ditanggung Allah.” (Lihat kitab Taisir Al Karim Ar Rahman di dalam ayat di atas).
 {وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لا تَحْمِلُ رِزْقَهَا الله يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ} [العنكبوت: 60]
Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri.  Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Ankabut: 60).
2.  Rezeki setiap manusia sudah ditakdirkan Allah Ta’ala
Oleh karenanya, tidak akan pernah si A mengambil dan mendapatkan rezeki kecuali yang sudah ditakdirkan untuknya. Tidak akan pernah mungkin si A mengambil rezeki yang telah di tetapkan dalam takdir Allah untuk si B.
عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ عَنْ عَبْدِ الله رضى الله عنه قَالَ حَدَّثَنَا رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ « إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ فِى ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ فِى ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِىٌّ أَوْ سَعِيدٌ فَوَالَّذِى لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا ».
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan: “Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi ‘Alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi Mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan empat kata : Rizki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya. Maka demi Allah yang tiada Tuhan selainnya, ada seseorang di antara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada di antara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.” (HR. Tirmidzi).
A Hasan Al Bashri rahimahullah pernah ditanya: “Apa Rahasia di dalam zuhudmu di dalam dunia?” Beliau menjawab,
علمت بأن رزقي لن يأخذه غيري فاطمئن قلبي له , وعلمت بأن عملي لا يقوم به غيري فاشتغلت به , وعلمت أن الله مطلع علي فاستحيت أن أقابله على معصية , وعلمت أن الموت ينتظرني فأعددت الزاد للقاء الله
Aku telah mengetahui bahwa rezekiku tidak akan pernah ada yang mengambilnya selainku, maka tenanglah hatiku untuknya, dan aku telah mengetahui bahwa ilmuku tidak akan ada yang melaksanakannya selainku, maka aku menyibukkan diri dengannya, aku telah mengetahui bahwa Allah mengawasiku, maka aku malu berhadapan dengannya dalam keadaan maksiat, aku telah mengetahui bahwa kematian menghadangku, maka aku telah siapkan untuk bekal bertemu dengan Allah.”
قال البيهقي بسنده إلى مُحَمَّدَ بْنَ أَبِي عَبْدَانَ،أنه قَالَ: قِيلَ لِحَاتِمٍ الأصَمِّ: عَلَى مَا بَنَيْتَ أَمَرَكَ هَذَا مِنَ التَّوَكُّلِ؟ قَالَ: عَلَى أَرْبَعِ خِلالٍ: ” عَلِمْتُ أَنَّ رِزْقِي لا يَأْكُلُهُ غَيْرِي، فَلَسْتُ اهْتَمُّ لَهُ، وَعَلِمْتُ أَنَّ عَمَلِي لا يَعْمَلُهُ غَيْرِي، فَأَنَا مَشْغُولٌ بِهِ، وَعَلِمْتُ أَنَّ الْمَوْتَ يَأْتِينِي بَغْتَةً، فَأَنَا أُبَادِرَهُ، وَعَلِمْتُ أَنِّي بِعَيْنِ اللهِ فِي كُلِّ حَالٍ، فَأَنَا مُسْتَحْيِيٍ مِنْهُ “
Al Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Muhammad bin Abi Abdan beliau berkata: “Hatim Al Asham pernah bertanya: “Atas apa kamu membangun perkaramu ini adalah merupakan sikap tawakkal?“ Beliau berkata, “Di atas empat perkara: “Aku telah mengetahuI bahwa rezekiku tidak ada yang akan memakannya selainku, maka aku tidak memperhatikannya, aku telah mengetahui bahwa ilmuku tidak ada yang akan mengamalkannya selainku maka aku sibuk dengannya, aku telah mengetahui bajwa kematian akan mendatangiku secara tiba-tiba maka aku bersegera (mengambil bekal) dan aku telah mengetahui bahwa aku senantiasa dalam penglihatan Allah setiap saat, maka aku malu dari-Nya.” (Atsar riwayat Al Baihaqi).
3. Seorang manusia tidak akan pernah dicabut nyawanya melainkan sudah menyempurnakan rezeki yang ditakdirkan untuknya
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ الله رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم- «أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا الله وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا الله وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ».
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Allah dan perbaikilah di dalam mencari (rezeki), karena sesungguhnya setiap yang yang bernyawa tidak akan pernah mati sampai dia menyempurnakan rezekinya, meskipun kadang terlambat datang untuknya, maka bertakwalah kalian kepada Allah dan perbaikilah dalam mencari (rezeki), (yaitu) ambillah apa yang telah dihalalkan tinggalkanlah apa yang telah diharamkan.” (HR. Ibnu Majah).
4. Allah-lah satu-satu-Nya yang menyembuhkan penyakit
 {وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ} [الشعراء: 80]
 “Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy Syu’ara:80).
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ إِذَا أَتَى مَرِيضًا – أَوْ أُتِىَ بِهِ – قَالَ «أَذْهِبِ الْبَاسَ رَبَّ النَّاسِ ، اشْفِ وَأَنْتَ الشَّافِى لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا»
Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika menjenguk orang sakit atau di datangkan kepada beliau, beliau berdoa: “Adz-hibil ba’sa robban naasi, isyfi wa antasy syaafi, laa syifaa-a illa syifaa-uka, syifa-an laa yughodiru saqoman” (Hilangkanlah penyakit, wahai penguasa manusia, sembuhkanlah sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penyembuh, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan satu penyakit pun).” (HR. Bukhari).
Dan Allah telah memerintahkan kita untuk tidak berobat dengan sesuatu yang haram. Mari perhatikan perkataan seorang shahabat nabi yang mengambil 70 surat langsung dari mulut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ الله لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian di dalam sesuatu yang telah diharamkan-Nya atas kalian.” (HR. Bukhari).
5. Penyakit merupakan penebus dosa
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِى وَقَّاصٍ رضى الله عنه قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ الله أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً قَالَ «الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ يُبْتَلَى الْعَبْدُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ»
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau bersabda, “Para Nabi kemudian orang-orang yang di bawahnya kemudian orang-orang yang di bawahnya. Seorang hamba akan diuji sesuai dengan (kualitas) agamanya, jika di dalam agamanya terdapat kekuatan maka akan bertambah berat ujiannya, dan jika di dalam agamanya terdapat kelemahan maka dia akan diuji sesuai dengan kekuatan agamanaya. Masih saja ujian diarasakan oleh seorang hamba sampai dia berjalan di atas bumi dan akhirnya dalam keadaan tidak mempunyai dosa.” (HR. Ibnu Majah)
6. Sembuh atau tidak sembuh sudah ditakdirkan Allah Ta’ala
Terakhir, kawan pembaca…
Sesudah membaca tulisan singkat ini, insyaAllah kita muslim yang tidak akan pernah:
  • Menanggalkan akidah kita, hanya untuk mendapatkan harta dunia yang tidak kekal dan tidak akan bisa dibawa ke dalam kubur.
  • Menanggalkan akidah kita, hanya untuk mendapatkan kesembuhan dari penyakit.
Beberapa contoh menanggalkan akidah ketika mengais rezeki
  1. Meminta bantuan kepada jin, khadam, orang pintar, para dukun, tukang sihir dalam mendatangkan harta.
  2. Memakai jimat baik dicincin, di gantung di toko, di gantung di dalam rumah, yang diyakini pemulus rezeki.
  3. Memakai segala cara untuk mendapatkan harta baik dengan; menipu, mencuri, memalsukan data, korupsi, memalsukan barang dan sebagainya, dan ini poin lebih ringan daripada no 1 dan 2. Dan masih banyak cara yang lain yang haram.
Beberapa contoh menanggalkan akidah ketika berobat
  1. Mendatangi orang pintar, ahli magic spiritual yang mengobati dengan meminta bantuan jin.
  2. Memakai jimat yang diyakini menyembuhkan penyakit
  3. Membuat sesajen yang diperuntukkan kepada selain Allah sebagai syarat kesembuhan penyakit.
Tulisan singkat ini tidak lain agar kaum muslim lebih memperhatikan bagaimana mengais rezeki yang halal dan bagaimana berobat dengan cara yang halal, daripada hanya memperhatikan yang penting banyak dapat harta atau yang penting cepat sembuh, tetapi dapat murka dan siksa Allah Ta’ala.
Tapi jika dengan cara yang halal akhirnya banyak dapat rezeki dan cepat sembuh dari penyakit, maka itu adalah karunia dari Allah Ta’ala yang harus lebih disyukuri. Wallahu a’lam.

*) Ahad, 28 Shafar 1433H, Dammam KSA

Maksiat akan Mengajak Maksiat yang Lain


كان شداد بن أوس رضي الله عنه يقول: “إذا رأيت الرجل يعمل بطاعة الله فاعلم أن لها عنده أخوات, وإذا رأيت الرجل يعمل بمعصية الله, فاعلم أن لها عنده أخوات, فإن الطاعة تدل على أختها وإن المعصية تدل على أختها (فَأَمَّا مَن أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى)
Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu berkata: “Jika kamu melihat seorang yang mengerjakan ketaatan kepada Allah, maka ketahuilah bahwa ketaatan tersebut mendatangkan saudara-saudara lain (=ketaatan-ketaatan lain) baginya. Dan jika kamu melihat seorang yang mengerjakan maksiat kepada Allah, maka ketahuilah bahwa maksiat tersebut mendatangkan saudara-saudara (=maksiat-maksiat lain) baginya, karena sesungguhnya sebuah ketaatan menunjukkan kepada saudaranya (=ketaatan lainnya) dan sebuah maksiat  menunjukkan kepada saudaranya (=maksiat lainnya). Allah berfirman,
 (فَأَمَّا مَن أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى)
Artinya: “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa”. “Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga)”. “Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah”. “Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup”. “Serta mendustakan pahala yang terbaik”. “Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar”. (QS. Al Lail: 5-10)(Lihat kitab Al Mafshal fi fiqh Ad Da’wat Ila Allah, 3/79).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
 وقال بعض السلف: من ثواب الحسنة الحسنة بعدها، ومن جزاء السيئة السيئةُ بعدها
Artinya: “Sebagian ulama salaf (terdahulu dari generasi shahabat, tabi’ien dan tabi’ut tabi’ien) berkata: “Termasuk dari ganjaran sebuah kebaikan adalah (mengerjakan)  sebuah kebaikan setelahnya, dan termasuk dari balasan kesalahan/dosa adalah (mengerjakan) kesalahan/dosa setelahnya.”
 والآيات في هذا المعنى كثيرة دالة على أن الله، عز وجل، يُجازي من قصد الخير بالتوفيق له، ومن قصد الشر بالخذلان.
Artinya: “Dan ayat-ayat di dalam makna ini sangat banyak, yang menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla, memberikan ganjaran kepada siapa yang bermaksud melakukan kebaikan yaitu dengan memberikan taufik kepadanya dan kepada siapa yang bermaksud dengan mengerjakan keburukan yaitu dengan kehinaan”. (Tafsir Al Quran Al Azhim, karya Ibnu Katsir rahimahullah).
Ingin contohnya?
Perhatikan perkataan Syaikhul Islam rahimahullah berikut ini:
 و ” الْمَعَازِفُ ” هِيَ خَمْرُ النُّفُوسِ تَفْعَلُ بِالنُّفُوسِ أَعْظَمَ مِمَّا تَفْعَلُ حُمَيَّا الْكُؤُوسِ فَإِذَا سَكِرُوا بِالْأَصْوَاتِ حَلَّ فِيهِمْ الشِّرْكُ وَمَالُوا إلَى الْفَوَاحِشِ وَإِلَى الظُّلْمِ فَيُشْرِكُونَ وَيَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ وَيَزْنُونَ . وَهَذِهِ ” الثَّلَاثَةُ ” مَوْجُودَةٌ كَثِيرًا فِي أَهْلِ ” سَمَاعِ الْمَعَازِفِ ” : سَمَاعِ الْمُكَاءِ وَالتَّصْدِيَةِ أَمَّا ” الشِّرْكُ ” فَغَالِبٌ عَلَيْهِمْ بِأَنْ يُحِبُّوا شَيْخَهُمْ أَوْ غَيْرَهُ مِثْلَ مَا يُحِبُّونَ اللَّهَ.
Artinya: “Al Ma’azif (alat-alat yang mengeluarkan musik atau musik itu sendiri, lihat kitab Fath Al Bari, karya Ibnu Hajar dan Majmu’ Fatawa syeikhul Islam-pent) adalah pemabuknya jiwa, dia berbuat kepada jiwa lebih dahsyat daripada apa yang diperbuat oleh cangkir-cangkir panas (khamr), jika mereka telah mabuk dengan suara-suara (nyanyian) maka akan masuk ke dalam diri mereka kesyirikan dan condong kepada perbuatan-perbuatan fahisyah (zina dan segala yang mendekatkannya-pent) dan kepada perbuatan zhalim, maka akhirnya mereka melakukan kesyirikan, membunuh jiwa yang telah diharamkan oleh Allah serta berzina. Dan tiga perkara ini banyak terdapat pada orang-orang yang suka mendengar  musik; mendengarkan siulan dan tepuk tangan, adapun perihal kesyirikan maka banyak terdapat pada mereka yaitu dengan mencintai syeikh mereka atau selainnya seperti mereka mencintai Allah Ta’ala” (Majmu’ Fatawa, 10/417).
Coba perhatikan…
(1) mendengarkan musik, kemudian menyebabkan…
(2) melakukan kesyirikan, kemudian menyebabkan…
(3) membunuh jiwa yang diharamkan untuk dibunuh, terakhir menyebabkan kepada…
(4) zina.
Makanya… awas! Maksiat ngajak teman-temannya yang lain. Wallahu ‘alam. Semoga tulisan singkat ini bermanfaat. Amin.

*) Kamis, 19 Rabi’uts Tsani 1432 H, Dammam KSA