Minggu, 20 November 2011

Faedah dari Ayat Kursi

Ayat kursi merupakan salah satu ayat yang agung dalam al Quran. Ayat ini telah sering kita dengar, bahkan sebagian besar di antara kita telah menghafal ayat ini. Marilah sejenak kita mempelajari ayat ini untuk mengambil beberapa pelajaran berharga dari ayat yang mulia ini.
Allah Ta’ala berfirman :
اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَنَوْمُُ لَّهُ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَابَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَاخَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَآءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَلاَ يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ {255}
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al Baqarah:255)
[Keutamaan Ayat Ini]
Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan : “Ayat yang mulia ini merupakan ayat al Quran yang paling agung, paling utama, dan paling mulia. Hal ini karena ayat ini mengandung penjelasan perkara-perkara yang agung dan sifat-sifat Allah yang mulia. Oleh karena itu banyak hadist yang memotivasi manusia untuk membaca ayat ini dan menjadikannya sebagai wirid yang dibaca saat pagi dan sore, ketika hendak tidur, dan dzikir setelah sholat fardhu”[1]
Di antara hadist yang menunjukkan keutamaan ayat kursi adalah hadist berikut :
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَعَكَ أَعْظَمُ قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَعَكَ أَعْظَمُ قَالَ قُلْتُ { اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ } قَالَ فَضَرَبَ فِي صَدْرِي وَقَالَ وَاللَّهِ لِيَهْنِكَ الْعِلْمُ أَبَا الْمُنْذِرِ
Dari Ubay bin Ka’ab ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hai Abu Mundzir! tahukah kamu, ayat manakah di antara ayat-ayat al Quran yang ada padamu yang paling utama?” Abu Mundzir berkata: saya menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bertanya lagi: “Hai Abu Mundzir, tahukah kamu, ayat manakah di antara ayat-ayat al Quran yang ada padamu yang paling utama?” Abu Mundzir berkata: Saya menjawab, “Allahu laa ilaaha illaa huwal Hayyul Qayyum” Abu Mundzir berkata: lalu beliau menepuk dadaku seraya bersabda: “Demi Allah, semoga dadamu dipenuhi dengan ilmu, wahai Abu Mundzir”[2]. Dan masih banyak hadist lain yang menunjukkan keutamaan ayat ini.
[Penetapan Tiga Macam Tauhid]
Dalam ayat kursi terdapat penetapan tiga macam tauhid yaitu tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah, dan tauhid asma’ wa sifat. Pada awal ayat merupakan penetapan tauhid uluhiyah, yakni firman Allah { اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ } (Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia), maksudnya tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia. Kemudian Allah menyebutkan tauhid asma’ wa sifat dalam firman-Nya { الْحَيُّ الْقَيُّومُ} (Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri). Ini merupakan penetapan sifat hidup dan berdiri sendiri (tidak butuh kepada makhluk)i bagi Allah Ta’ala. Dan firman Allah { لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَنَوْمُُ } merupakan penafian. Allah menafikan dari diri-Nya sifat kekurangan dan cela yaitu sifat ngantuk dan tidur. Dalam firman-Nya  { لَّهُ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ } (kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi) merupakan penetapan rububiyah Allah, Dialah pemilik langit dan bumi dan yang ada di dalamnya.[3]
[Nama Allah Al Hayyu dan Al Qayyum]
Dua nama di atas adalah nama bagi Allah Ta’ala yang terdapat dalam 3 tempat di dalam Al Quran, yaitu ayat kursi, awal surat Ali ‘Imran (ayat2), dan dalam surat Thaaha (ayat111).
Dalam nama Al Hayyu terdapat penetapan sifat hidup bagi Allah. Yaitu sifat hidup yang sempurna, tidak didahului ketiadaan dan tidak disertai kehancuran dan fana, serta tidak ada kekurangan dan cela. Kehidupan yang berkonsekuensi sempurananya sifat-sifat Allah, baik ilmu-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, kemampuan-Nya, kemauan-Nya, kasih sayang-Nya, dan perbuatan yang Allah kehendaki. Dengan demikian, hanya Allah semata yang berhak untuk diibadahi, sebgaimana firman-Nya :
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لاَيَمُوتُ وَسَبِّحْ بِحَمْدِهِ وَكَفَى بِهِ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرًا {58}
Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya.”(Al Furqan:58)
Adapun dalam nama Allah Al Qayyum terdapat penetapan qayyumiyah sebagai sifat bagi Allah, yakni keadaan Allah yang berdiri sendiri. Nama Allah Al Qayyum mengandung dua hal :
Pertama. Sempurnanya ketidakbutuhan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia berdiri sendiri, tidak membutuhkan makhluknya, sebagaimana firman-Nya :
يَآأَيُّهَا النَّاسُ أَنتُمُ الْفُقَرَآءُ إِلَى اللهِ وَاللهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ {15}
Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Faathir:15)
Dalam sebuah hadits qudsi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّي فَتَضُرُّونِي وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي فَتَنْفَعُونِي
Sesungguhnya kalian tidak akan dapat menimpakan mudharat sedikitpun kepada-Ku dan tidak akan dapat memberikan manfaat sedikitpun kepada-Ku “[4]
Kedua. Sempurnanya kemampuan dan pengaturan Allah terhadap makhluk-Nya. Allah menopang para makhluknya dengan kekuatan-Nya, dan seluruh makhlukk fakir (butuh) terhadap Allah. Allah tidak sedikitpun butuh terhadap makhluk. ‘Arsy, Kursi, langit dan bumi, gunung dan pohon, manusia dan hewan, semuanya fakir  kepada Allah. Allah berfirman :
أَفَمَنْ هُوَ قَآئِمٌ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ وَجَعَلُوا لِلَّهِ شُرَكَآءَ قُلْ سَمُّوهُمْ
Maka apakah Tuhan yang menjaga setiap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya)? Mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah. Katakanlah: “Sebutkanlah sifat-sifat mereka itu“. …” (Ar Ra’du :33).[5]
[Meminta Syafaat Hanya kepada Allah]
Ayat yang agung ini juga mengandung pelajaran penting tentang syafaat. Bahwa syafaat adalah milik Allah dan hanya boleh meminta syafaat kepada Allah semata. Allah berfirman :
مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya?”
Allah Ta’ala tidak melarang meminta syafaat secara mutlak, bahkan terdapat syafaat  yang diterima di sisi Allah, yaitu syafaat yang mendapat izin dari Allah terhadap orang yang mentauhidkan-Nya. Syafaat yang diterima oleh Allah harus memenuhi dua syarat :
Pertama. Izin syafaat dari Allah Ta’ala. Semua syafaat adalah milik-Nya semata, sebagaimana Allah berfirman :
قُلِ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا … {44}
Katakanlah: “Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya” (Az Zumar:44)
Tidak ada sesuatupun yang memberi syafaat, baik itu malaikat maupun Nabi tanpa izin Allah ‘Azza wa Jalla.
Kedua. Ridho Allah terhadap orang yang diberi syafaat. Orang yang meminta syafaat adalah ahli tauhid yang tidak menjadikan selain Alah sebagai pemberi syafaat, sebagaimana firman-Nya :
وَلاَيَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَضَى …{28}
dan mereka  (para malaikat) tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah” (Al Anbiya’:28)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قِبَلِ نَفْسِهِ
Manusia yang beruntung dengan syafaatku pada hari kiamat adalah yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah, dengan tulus dari lubuk hatinya.” [6]
Syafaat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam –tentunya setelah mendapat izin dari Allah- tidak akan didapatkan kecuali oleh ahli tauhid murni. Ini bertentangan dengan keyakinan kaum musyrikin yang menyangka bahwa syafaat akan diberikan dengan menjadikan wali-wali mereka sebagai pemberi syafaat, serta beribadah dan mencintai sesembahan selain Allah. [7]
[Luasnya Ilmu Allah Ta’ala]
يَعْلَمُ مَابَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَاخَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَآءَ
Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya
Pada firman Allah Ta’ala (yang artinya) “Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka” di dalamnya terdapat penetapan sempurnanya ilmu Allah ‘Azza wa Jalla. Allah mengetahui segala sesuatu, yang telah lalu, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Tidak ada sesuataupun yang tersembunyi, ilmu Allah mencakup semuanya. Dalam firman Allah (yang artinya) “mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya” merupakan penafian (peniadaan). Allah menafikan pada makhluk mengetahui ilmu Allah, kecuali yang telah Allah berikan kepadanya. Mereka tidak mengetahui perkara ghaib, tidak ada yang mengetahu perkara ghaib kecuali Allah semata.[8]
[Kursi, Makhluk Allah yang Agung]
Allah Ta’ala berfirman :
وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ
“Kursi Allah meliputi langit dan bumi”
Kursi adalah salah satu makhluk Allah. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata :
إنه موضع قدمي الله عز وجل
Kursi adalah tempat kedua telapak kaki Allah”[9]
Kursi bukanlah ‘Arsy. ‘Arsy lebih besar dari Kursi, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah shalaallhu ‘alaihi wa sallam :
أن السماوات والسبع والأرضين السبع بالنسبة للكرسي كحلقة ألقيت في فلاة من الأرض، وأن فضل العرش على الكرسي كفضل الفلاة على هذه الحلقة
Sesungguhnya langit dan bumi yang tujuh dibandingakn dengan Kursi Allah bagaikan gelang yang dilempar di tanah lapang, dan keagungan ‘Arsy disbanding Kursi bagaikan tanah lapang dbianding gelang” [10]
Ini menunjukkan atas agungnya makhluk-makhluk Allah. Keagungan makhluk menunjukkan atas keagungan Penciptanya.[11]
[Allah Ta’ala Yang Maha Tinggi]
وَلاَ يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Terdapat banyak dalil yang menunjukkan bahwa Allah adalah Yang Maha Tinggi. Nama Allah Al ‘Aliy (Yang Maha Tinggi) menunjukkan tingginya Allah secara mutlak ditinjau dari berbagai sisi.
Pertama. Allah Maha Tinggi dalam dzat-Nya (‘uluw dzat). Allah istiwa’ (tinggi dan menetap) di atas ‘Arsy, Allah berada di atas segala sesuatu. Allah berfirman :
الرَّحْمَنُ عَلَى اْلعَرْشِ اسْتَوَى {5}
(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang istiwa’ di atas ‘Arsy .” (Thaaha:55)
Kedua. Allah Maha Tinggi dalam kekuasaan-Nya (‘uluw qodar). Sifat-sifat Allah tinggi dan agung. Sifat Allah agung, tidak menyamai dan menyerupai dengan sifat sesuatu papun, bahkan hamba tidak layak disifati  dengan salah satu sifat-Nya.
Ketiga. Allah Maha Tinggi, mengalahkan yang lainnya (‘uluw qohar)[12]
[Kesimpulan]
Di akhir ketika menyimpulkan kandungan ayat ini, Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan : “ Ayat ini mencakup penjelasan tentang tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah, dan tauhid asma’ wa shifat. Dan juga penjelasan cakupan kepemilikan, peliputan ilmu Allah, luasnya kekuasan-Nya, keagungan dan kemuliaan Allah Ta’ala, serta keagungan kebesaran-Nya, dan ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya. Ayat ini secra khusus mengandung penjelasan tentang akidah tentang asma’ dan sifat Allah”[13]
Demikian penjelasan beberapa faedah yang dapat diambil dari ayat kursi. Semoga paparan ringkas ini bermanfaat dan menambah keimanan kita. Wa shalallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad.
Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
Artikel www.muslim.or.id
Catatan kaki
[1]. Taisir Karimir Rahman, Syaikh As Sa’di, Tafsir Al Baqoroh 255.
[2]. H.R Muslim 810.
[3]. Duruus min Al Quran hal 27, Syaikh Shalih Fauzan, Daarul ‘Aashimah.
[4]. H.R Muslim 2577.
[5]. Lihat Fiqhul Asmaail Husna hal 103-107, Syaikh ‘Abdurrozzaq.
[6]. H.R Bukhari 99.
[7]. Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhiid 168, Dr. ‘Abdul Qodir Shufiy, Adwaus Salaf.
[8] Duruus min Al Quran 28.
[9]. Dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Mukhtasar ‘Uluw 40
[10]. Dishahihkan oleh Syaikh Albani dalm Ash Shahihah 109
[11]. Syarh ‘Aqidah al Washitiyah 127, Syaikh ‘Utsaimin.
[12]. Fiqhul Asmaail Husna 174-175
[13]. Taisir Karimir Rahman, Tafsir

Allah Begitu Dekat pada Orang yang Berdoa

Sudah begitu lama, ingin agar harapan segera terwujud. Beberapa waktu terus menanti dan menanti, namun tak juga impian itu datang. Kadang jadi putus asa karena sudah seringkali memohon pada Allah. Sikap seorang muslim adalah tetap terus berdo’a karena Allah begitu dekat pada orang yang berdo’a. Boleh jadi terkabulnya do’a tersebut tertunda. Boleh jadi pula Allah mengganti permintaan tadi dengan yang lainnya dan pasti pilihan Allah adalah yang terbaik.
Ayat yang patut direnungkan adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)
Sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ رَبُّنَا قَرِيبٌ فَنُنَاجِيهِ ؟ أَوْ بَعِيدٌ فَنُنَادِيهِ ؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ هَذِهِ الْآيَةَ
“Wahai Rasulullah, apakah Rabb kami itu dekat sehingga kami cukup bersuara lirih ketika berdo’a ataukah Rabb kami itu jauh sehingga kami menyerunya dengan suara keras?” Lantas Allah Ta’ala menurunkan ayat di atas. (Majmu’ Al Fatawa, 35/370)
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kedekatan yang dimaksud dalam ayat ini adalah kedekatan Allah pada orang yang berdo’a (kedekatan yang sifatnya khusus).” (Majmu’ Al Fatawa, 5/247)
Perlu diketahui bahwa kedekatan Allah itu ada dua macam:
  1. Kedekatan Allah yang umum dengan ilmu-Nya, ini berlaku pada setiap makhluk.
  2. Kedekatan Allah yang khusus pada hamba-Nya dan seorang muslim yang berdo’a pada-Nya, yaitu Allah akan mengijabahi (mengabulkan) do’anya, menolongnya dan memberi taufik padanya. (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 87)
Kedekatan Allah pada orang yang berdo’a adalah kedekatan yang khusus –pada macam yang kedua- (bukan kedekatan yang sifatnya umum pada setiap orang). Allah begitu dekat pada orang yang berdo’a dan yang beribadah pada-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits pula bahwa tempat yang paling dekat antara seorang hamba dengan Allah adalah ketika ia sujud. (Majmu’ Al Fatawa, 15/17)
Siapa saja yang berdo’a pada Allah dengan menghadirkan hati ketika berdo’a, menggunakan do’a yang ma’tsur (dituntunkan), menjauhi hal-hal yang dapat menghalangi terkabulnya do’a (seperti memakan makanan yang haram), maka niscaya Allah akan mengijabahi do’anya. Terkhusus lagi jika ia melakukan sebab-sebab terkabulnya do’a dengan tunduk pada perintah dan larangan Allah dengan perkataan dan perbuatan, juga disertai dengan mengimaninya. (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 87)
Dengan mengetahui hal ini seharusnya seseorang tidak meninggalkan berdo’a pada Rabbnya yang tidak mungkin menyia-nyiakan do’a hamba-Nya. Pahamilah bahwa Allah benar-benar begitu dekat dengan orang yang berdo’a, artinya akan mudah mengabulkan do’a setiap hamba. Sehingga tidak pantas seorang hamba putus asa dari janji Allah yang Maha Mengabulkan setiap do’a.
Ingatlah pula bahwa do’a adalah sebab utama agar seseorang bisa meraih impian dan harapannya. Sehingga janganlah merasa putus asa dalam berdo’a. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Do’a adalah sebab terkuat bagi seseorang agar bisa selamat dari hal yang tidak ia sukai dan sebab utama meraih hal yang diinginkan. Akan tetapi pengaruh do’a pada setiap orang berbeda-beda. Ada yang do’anya berpengaruh begitu lemah karena sebab dirinya sendiri. Boleh jadi do’a itu adalah do’a yang tidak Allah sukai karena melampaui batas. Boleh jadi do’a tersebut berpengaruh lemah karena hati hamba tersebut yang lemah dan tidak menghadirkan hatinya kala berdo’a. … Boleh jadi pula karena adanya penghalang terkabulnya do’a dalam dirinya seperti makan makanan haram, noda dosa dalam hatinya, hati yang selalu lalai, nafsu syahwat yang menggejolak dan hati yang penuh kesia-siaan.” (Al Jawaabul Kaafi, hal. 21). Ingatlah hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنَ الدُّعَاءِ
Tidak ada sesuatu yang lebih besar pengaruhnya di sisi Allah Ta’ala selain do’a.” (HR. Tirmidzi no. 3370, Ibnu Majah no. 3829, Ahmad 2/362. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Jika memahami hal ini, maka gunakanlah do’a pada Allah sebagai senjata untuk meraih harapan.
Penuh yakinlah bahwa Allah akan kabulkan setiap do’a. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ
Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Lalu pahamilah bahwa ada beberapa jalan Allah kabulkan do’a. Dari Abu Sa’id, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ « اللَّهُ أَكْثَرُ »
Tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat, pen) melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan do’anya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo’a.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan do’a-do’a kalian.” (HR. Ahmad 3/18. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya jayyid). Boleh jadi Allah menunda mengabulkan do’a. Boleh jadi pula Allah mengganti keinginan kita dalam do’a dengan sesuatu yang Allah anggap lebih baik. Atau boleh jadi pula Allah akan mengganti dengan pahala di akhirat. Jadi do’a tidaklah sia-sia.
Ingatlah wejangan yang amat menyejukkan hati dari cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata,
من اتكل على حسن اختيار الله له، لم يتمن شيئا. وهذا حد الوقوف على الرضى بما تصرف به القضاء
Barangsiapa yang bersandar kepada baiknya pilihan Allah untuknya maka dia tidak akan mengangan-angankan sesuatu (selain keadaan yang Allah pilihkan untuknya). Inilah batasan (sikap) selalu ridha (menerima) semua ketentuan takdir dalam semua keadaan (yang Allah) berlakukan (bagi hamba-Nya)” (Lihat Siyaru A’laamin Nubalaa’ 3/262 dan Al Bidaayah wan Nihaayah 8/39). Pilihan Allah itulah yang terbaik.
Wallahu waliyyut taufiq.
Panggang-Gunung Kidul, 7 Jumadats Tsaniyah 1432 H (10/05/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Sampaikan Ilmu Dariku Walau Satu Ayat

Sampaikan Ilmu Dariku Walau Satu Ayat

11 Komentar // 19 June 2011
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari)
Seputar perawi hadits :
Hadits ini diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Su’aid bin Sa’ad bin Sahm As Sahmiy. Nama kunyah beliau Abu Muhammad, atau Abu Abdirrahman menurut pendapat lain. Beliau adalah salah satu diantara Al ‘Abaadilah (para shahabat yang bernama Abdullah, seperti ‘Abdullah Ibn Umar, ‘Abdullah ibn Abbas, dan sebagainya –pent) yang pertama kali memeluk Islam, dan seorang di antara fuqaha’ dari kalangan shahabat. Beliau meninggal pada bulan Dzulhijjah pada peperangan Al Harrah, atau menurut pendapat yang lebih kuat, beliau meninggal di Tha’if.
Poin kandungan hadits :
Pertama:
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyampaikan perkara agama dari beliau, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan agama ini sebagai satu-satunya agama bagi manusia dan jin (yang artinya), “Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kusempurnakan bagimu nikmat-Ku dan telah aku ridhai Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al Maidah : 3). Tentang sabda beliau, “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”, Al Ma’afi An Nahrawani mengatakan, “Hal ini agar setiap orang yang mendengar suatu perkara dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersegera untuk menyampaikannya, meskipun hanya sedikit. Tujuannya agar nukilan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat segera tersambung dan tersampaikan seluruhnya.” Hal ini sebagaimana sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah yang hadir menyampaikan pada yang tidak hadir”. Bentuk perintah dalam hadits ini menunjukkan hukum fardhu kifayah.
Kedua:
Tabligh, atau menyampaikan ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi dalam dua bentuk :
  1. Menyampaikan dalil dari Al Qur’an atau sebagiannya dan dari As Sunnah, baik sunnah yang berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (amaliyah), maupun persetujuan (taqririyah), dan segala hal yang terkait dengan sifat dan akhlak mulia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cara penyampaian seperti ini membutuhkan hafalan yang bagus dan mantap. Juga cara dakwah seperti ini haruslah disampaikan dari orang yang jelas Islamnya, baligh (dewasa) dan memiliki sikap ‘adalah (sholeh, tidak sering melakukan dosa besar, menjauhi dosa kecil dan menjauhi hal-hal yang mengurangi harga diri/ muru’ah, ed).
  2. Menyampaikan secara makna dan pemahaman terhadap nash-nash yang ada. Orang yang menyampaikan ilmu seperti ini butuh capabilitas dan legalitas tersendiri yang diperoleh dari banyak menggali ilmu dan bisa pula dengan mendapatkan persaksian atau izin dari para ulama. Hal ini dikarenakan memahami nash-nash membutuhkan ilmu-ilmu lainnya, di antaranya bahasa, ilmu nahwu (tata bahasa Arab), ilmu-ilmu ushul, musthalah, dan membutuhkan penelaahan terhadap perkataan-perkataan ahli ilmu, mengetahui ikhtilaf (perbedaan) maupun kesepakatan yang terjadi di kalangan mereka, hingga ia mengetahui mana pendapat yang paling mendekati dalil dalam suatu masalah khilafiyah. Dengan bekal-bekal ilmu tersebut akhirnya ia tidak terjerumus menganut pendapat yang ‘nyleneh’.
Ketiga:
Sebagian orang yang mengaku sebagai da’i, pemberi wejangan, dan pengisi ta’lim, padahal nyatanya ia tidak memiliki pemahaman (ilmu mumpuni) dalam agama, berdalil dengan hadits “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”. Mereka beranggapan bahwasanya tidak dibutuhkan ilmu yang banyak untuk berdakwah (asalkan hafal ayat atau hadits, boleh menyampaikan semau pemahamannya, ed). Bahkan mereka berkata bahwasanya barangsiapa yang memiliki satu ayat maka ia telah disebut sebagai pendakwah, dengan dalil hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Menurut mereka, tentu yang memiliki hafalan lebih banyak dari satu ayat atau satu hadits lebih layak jadi pendakwah.
Pernyataan di atas jelas keliru dan termasuk pengelabuan yang tidak samar bagi orang yang dianugerahi ilmu oleh Allah. Hadits di atas tidaklah menunjukkan apa yang mereka maksudkan, melainkan di dalamnya justru terdapat perintah untuk menyampaikan ilmu dengan pemahaman yang baik, meskipun ia hanya mendapatkan satu hadits saja. Apabila seorang pendakwah hanya memiliki hafalan ilmu yang mantap, maka ia hanya boleh menyampaikan sekadar hafalan yang ia dengar. Adapun apabila ia termasuk ahlul hifzh wal fahm (punya hafalan ilmu dan pemahaman yang bagus), ia dapat menyampaikan dalil yang ia hafal dan pemahaman ilmu yang ia miliki. Demikianlah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Terkadang orang yang disampaikan ilmu itu lebih paham dari yang mendengar secara langsung. Dan kadang pula orang yang membawa ilmu bukanlah orang yang faqih (bagus dalam pemahaman)”. Bagaimana seseorang bisa mengira bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak paham agama untuk mengajarkan berdasarkan pemahaman yang ia buat asal-asalan (padahal ia hanya sekedar hafal dan tidak paham, ed)?! Semoga Allah melindungi kita dari kerusakan semacam ini.
Diterjemahkan dari : “Ta’liqat ‘ala Arba’ina Haditsan fi Manhajis Salaf” Syaikh Ali bin Yahya Al Haddadi  (http://haddady.com/ra_page_views.php?id=299&page=24&main=7)
Penerjemah: Yhouga Ariesta
Editor: M. A.  Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Ini Dalilnya (10): Terapi Intensif bagi Pelaku Bid’ah

Sebagai pelengkap, rasanya kurang pas kalau kita bicara panjang lebar tentang bid’ah namun tidak memberikan solusi bagi mereka yang telah lama ‘mengidap’ penyakit yang satu ini. Karenanya, kami berusaha untuk menawarkan beberapa terapi yang diharapkan mampu membantu ‘kesembuhan’ mereka. 
Terapi pertama: Kenali penyakitnya terlebih dahulu
Seperti layaknya penyakit, sebelum seorang dokter bisa menentukan obat apa yang cocok untuknya, terlebih dahulu ia harus mengadakan diagnosa. Ia harus mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang penyakit yang diderita si pasien, baru kemudian menentukan terapi apa yang cocok untuknya.
Demikian pula bid’ah, ia tak ubahnya seperti penyakit yang menggerogoti agama seseorang. Kalau orang tersebut tidak merasa dirinya sakit, bagaimana ia akan berobat? Oleh karena itu, berikut ini kami sebutkan beberapa pengaruh buruk bid’ah terhadap agama seseorang, mudah-mudahan dengan menyadarinya, seseorang akan lebih waspada terhadap bahaya bid’ah dan berusaha sekuat tenaga untuk membasminya [1].
a. Amalan yang tercampuri bid’ah tidak akan diterima Allah
Beberapa bid’ah memang sangat buruk dampaknya, seperti bid’ahnya faham qadariyyah. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa salah seorang tabi’in yang bernama Yahya bin Ya’mar menceritakan, bahwa yang pertama kali menyoal masalah takdir di Basrah ialah Ma’bad Al Juhany. Ia menuturkan: Ketika itu, aku bersama Humaid bin Abdirrahman Al Himyari hendak berangkat menunaikan haji atau umrah. Maka kukatakan kepadanya: “Andai saja kita berjumpa dengan salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian kita tanyai dia tentang orang-orang qadariyyah itu…”. Lalu tiba-tiba kami berpapasan dengan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, maka segeralah kami mengapitnya dari sebelah kiri dan kanan. Saat itu nampaknya temanku ingin agar aku yang memulai pembicaraan, maka kukatakan kepada Ibnu ‘Umar:
“Hai Abu Abdirrahman, sesungguhnya di daerah kami muncul sekelompok orang yang pandai membaca Al Qur’an, dan mendalami berbagai ilmu… akan tetapi mereka mendakwakan bahwa takdir Allah itu tidak ada, dan bahwa segala sesuatu terjadi dengan sendirinya (tanpa ada ketentuan terlebih dahulu -pen)”
Setelah mendengar uraian tadi, Ibnu Umar radhiallahu’anhuma menjawab:
“Kalau kamu bertemu dengan mereka, sampaikan bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka pun berlepas diri dariku… kabarkan bahwa Ibnu Umar bersumpah kalau pun ada di antara mereka yang menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya Allah tak akan menerima infaknya sampai ia beriman kepada takdir…”
Kemudian Ibnu Umar radhiallahu’anhuma mengutip hadits dari ayahnya yang bercerita tentang kedatangan Malaikat Jibril dalam sosok orang yang tak dikenal, lalu menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang makna Islam, Iman dan Ihsan (H.R. Muslim no 8).
b. Pelaku bid’ah tak akan mendapat perlindungan Allah,  namun diserahkan pada dirinya sendiri
Imam Asy Syathiby mengatakan: “Allah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmatan lil ‘aalamin; Sedangkan kita, sebelum diutusnya beliau, tidaklah mengenal manakah jalan kebenaran itu. Kita tidak mengerti tentang apa-apa yang baik bagi urusan dunia melainkan sedikit, apalagi urusan akhirat, maka sedikitpun kita tak tahu. Sampai Allah mengutus Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencabut semua keraguan dalam dada, dan mengangkat semua perselisihan diantara manusia.
Ketika seorang pelaku bid’ah meninggalkan karunia Allah dan pemberian-Nya yang sedemikian besar, lantas menganggap dirinya cukup faham akan apa yang baik baginya atau bagi dunianya, padahal Allah tidak menyebutkan satu dalil pun tentangnya; maka bagaimana mungkin orang semacam ini layak mendapat perlindungan Allah dan naungan rahmat-Nya, sedangkan ia telah melepaskan tangannya dari tali Allah dan menyerahkannya pada dirinya sendiri?! Sungguh, orang semacam ini amat layak untuk dijauhkan dari rahmat Allah. Bukankah Allah Ta’ala berfirman :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
 “Berpegang teguhlah kalian semuanya kepada tali Allah, dan janganlah berpecah-belah…” (Ali ‘Imran: 103),
setelah sebelumnya Ia berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar takwa…” (Aali ‘Imran: 102).
Seakan Allah ingin mengisyaratkan bahwa takwa yang sesungguhnya ialah dengan berpegang teguh dengan tali Allah, dan semua yang diluar itu adalah perpecahan, karenanya Allah mengatakan: “janganlah berpecah”. Sedangkan perpecahan merupakan karakter terburuk setiap pelaku bid’ah, karena ia meninggalkan aturan Allah dan memisahkan diri dari jama’ah kaum muslimin.
c. Pelaku bid’ah adalah orang yang dilaknat menurut syari’at
Dalilnya ialah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,
مَنْ أَحْدَثَ فِيهَا حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (متفق عليه)
“Barangsiapa berbuat bid’ah di dalamnya (Madinah), atau melindungi pelaku bid’ah, maka baginya laknat Allah, para malaikat, dan manusia seluruhnya” (Muttafaq ‘Alaih).[2]

d. Bid’ah semakin menjauhkan pelakunya dari Allah Ta’ala
Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ayyub As Sikhtiyani -salah seorang tokoh tabi’in- bahwa beliau mengatakan:
مَا ازْدَادَ صَاحِبُ بِدْعَةٍ اِجْتِهَاداً، إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ اللهِ بُعْداً {حلية الأولياء – (ج 1 / ص 392)}
“Semakin giat pelaku bid’ah dalam beribadah, semakin jauh pula ia dari Allah” (Hilyatul Auliya’, 1/392). Apa yang dikatakan oleh tokoh tabi’in di atas, kebenarannya didukung oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyifati orang-orang Khawarij:
يَخْرُجُ فِيكُمْ قَوْمٌ تَحْقِرُونَ صَلَاتَكُمْ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَكُمْ مَعَ صِيَامِهِمْ وَعَمَلَكُمْ مَعَ عَمَلِهِمْ وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ … الحديث (متفق عليه)
Akan muncul diantara kalian suatu kaum yang kalian akan meremehkan shalat kalian (para sahabat), puasa kalian, dan amal  kalian di samping shalat mereka, puasa mereka, dan amal mereka. Mereka rajin membaca Al Qur’an akan tetapi (pengaruhnya) tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari Islam seperti anak panah yang keluar menembus sasarannya” (Muttafaq Alaih).[3]
Perhatikan, bagaimana mulanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati mereka sebagai kaum yang amat giat beribadah, lalu menjelaskan betapa jauhnya mereka dari Allah.[4]
e. Bid’ah mencegah pelakunya dari mendapat syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang berbunyi:
أَلَا وَإِنَّ أَوَّلَ الْخَلَائِقِ يُكْسَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام أَلَا وَإِنَّهُ سَيُجَاءُ بِرِجَالٍ مِنْ أُمَّتِي فَيُؤْخَذُ بِهِمْ ذَاتَ الشِّمَالِ فَأَقُولُ يَا رَبِّ أَصْحَابِي فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ (متفق عليه)
“Sesungguhnya manusia pertama yang diberi pakaian pada hari kiamat ialah Ibrahim ‘alaihis salam. Ingatlah, bahwa nanti akan ada sekelompok umatku yang dihalau ke sebelah kiri… maka kutanyakan: “Ya Rabbi… mereka adalah sahabatku [5])?”, akan tetapi jawabannya ialah: “Kamu tidak tahu akan apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu…” (Muttafaq ‘Alaih).[6])
 f. Pelaku bid’ah ikut menanggung dosa orang yang mengikutinya hingga hari kiamat
Dasarnya ialah firman Allah Ta’ala:
لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ
“Agar mereka memikul dosa-dosa mereka seluruhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dari dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu” (QS. An Nahl: 25).
Sebagaimana dalam hadits shahih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang maknanya, “Barangsiapa mengajarkan ajaran jelek, maka ia akan memikul dosanya dan dosa orang yang mengamalkan ajarannya…[7].
g. Pelaku bid’ah sangat sulit untuk bertaubat
Dalilnya ialah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,
إِنَّ اللهَ حَجَزَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ (رواه أبو الشيخ والطبراني والبيهقي وغيرهم)
“Sesungguhnya Allah mencegah setiap pelaku bid’ah dari taubat” (H.R Abu Syaikh, At Thabrani, Al Baihaqy dan lainnya).[8]
Demikian pula yang disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perpecahan umat beliau, yang diantaranya beliau mengatakan:
إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابَيْنِ افْتَرَقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً يَعْنِي الْأَهْوَاءَ كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلْبُ بِصَاحِبِهِ لَا يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلَا مَفْصِلٌ إِلَّا دَخَلَهُ وَاللَّهِ يَا مَعْشَرَ الْعَرَبِ لَئِنْ لَمْ تَقُومُوا بِمَا جَاءَ بِهِ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَغَيْرُكُمْ مِنْ النَّاسِ أَحْرَى أَنْ لَا يَقُومَ بِهِ (رواه أبو داود وأحمد وغيرهما بسند حسن).
Sesungguhnya ahli kitab telah berpecah menjadi 72 firqah; dan sesungguhnya umat ini akan berpecah menjadi 73 millah -maksudnya ajaran yang mengikuti bid’ah dan hawa nafsu,- mereka semua berada di Neraka kecuali satu, yaitu Al Jama’ah. Nanti akan muncul pada umatku sekelompok orang yang kerasukan bid’ah dan hawa nafsu sebagaimana anjing kerasukan rabies, tak tersisa satu pun dari urat dan sendinya melainkan telah kerasukan. Hai sekalian bangsa Arab, demi Allah… kalau kalian saja tidak mau melaksanakan ajaran Nabimu, maka orang lain akan lebih tidak mau lagi” (H.R. Abu Dawud, Ahmad dan lainnya).[9]
 h. Pelaku bid’ah dijauhkan dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, katanya,
أَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ أَلَا لَيُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ أُنَادِيهِمْ أَلَا هَلُمَّ فَيُقَالُ إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا (رواه مسلم وابن ماجه وأحمد)
Aku akan mendahului kalian menuju telaga… sungguh, akan ada beberapa orang yang dihalau dari telagaku sebagaimana dihalaunya onta yang kesasar. Aku memanggil mereka: “Hai datanglah kemari…!” namun dikatakan kepadaku: “Mereka telah mengganti-ganti (ajaranmu) sepeninggalmu…” maka kataku: “Menjauhlah sana… menjauhlah sana (kalau begitu)” (H.R Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad).[10]
i. Pelaku bid’ah dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekafiran
Sebab itulah para ulama dari dahulu sampai sekarang senantiasa berbeda pendapat tentang kafir-tidaknya sejumlah firqah ahlul bid’ah, seperti khawarij, qadariyyah dan yang lainnya. Hal ini didukung oleh dhahir ayat yang berbunyi:
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka (QS. Al An’am: 159).
Diantara mereka ada yang jelas-jelas mengkafirkan firqah bid’ah tertentu seperti batiniyyah dan yang lainnya. Jika ada ulama yang berselisih tentang suatu perkara, apakah ia dihukumi kafir atau tidak? Tentunya setiap orang yang berakal akan merinding untuk ditempatkan di persimpangan yang sarat marabahaya seperti ini. Siapa yang rela kalau ada orang yang mengatakan kepadanya: “Sesungguhnya para ulama berselisih pendapat mengenaimu; apakah kamu telah kafir, atau sekedar sesat?” Atau yang mengatakan: “Sesungguhnya ada sebagian ulama yang mengkafirkan kamu dan menganggap darahmu halal…?!” tentunya tak seorang pun mau dikatakan seperti itu.[11]

j. Pelaku bid’ah dikhawatirkan akan mati dalam keadaan suu’ul khatimah
Wajar saja, karena seorang pelaku bid’ah sama dengan orang yang bermaksiat kepada Allah, dan siapa pun yang bersikukuh dengan maksiatnya perlu dicemaskan kalau-kalau ia mati dalam keadaan itu.
Bahkan disamping melanggar larangan Allah, seorang pelaku bid’ah seakan ingin mengoreksi syari’at dengan pendapatnya pribadi. Ia tak puas menerima syari’at begitu saja demi meraih yang dia inginkan. Ia justeru meyakini bahwa maksiat yang dilakukan adalah ketaatan, mengapa? Karena ia menganggap baik apa yang dianggap jelek oleh syari’at, yaitu bid’ah. Tentunya orang yang seperti ini keadaannya, sangat dikhawatirkan akan mati dalam keadaan suu’ul khatimah.[12]
k. Wajah pelaku bid’ah akan menghitam di hari kiamat
Dalilnya ialah firman Allah Ta’ala yang berbunyi,
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ
“Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula yang hitam muram…” (Ali ‘Imran: 106).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan ayat ini dengan mengatakan,
يَعْنِي: يَوْمَ الْقِيَامَةَ، حِيْنَ تَبْيَضُّ وُجُوْهُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، وَتَسْوَدُّ وُجُوْهُ أَهْلِ الْبِدْعَةِ وَالُفُرُقَةِ {تفسير ابن كثير – (ج 2 / ص 92)}
“Yaitu hari kiamat… ketika wajah ahlussunnah wal jama’ah putih berseri, sedangkan wajah ahlul bid’ah wal furqah hitam legam”[13]

Terapi kedua: Sibukkan diri dengan mengamalkan sunnah
Ketahuilah wahai saudaraku… tidaklah seseorang melakukan bid’ah melainkan pasti saat itu juga ia meninggalkan sunnah. Agama ini ibarat cawan yang penuh terisi air, kalau seseorang memasukkan secuil benda asing kedalamnya, pastilah ada air yang tertumpah sesuai kadar benda yang masuk tadi… demikian pula Islam. Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu, dan telah kucukupkan nikmat-Ku atasmu, dan telah kuridhai Islam sebagai agamamu” (QS. Al Ma’idah: 3).
Baca dan pelajarilah Shahih Bukhari, dan Shahih Muslim… niscaya kita akan mendapatkan ribuan sunnah yang selama ini belum pernah kita lakukan.
Mengapa sebagian kaum muslimin justeru menyibukkan diri dengan membaca buku-buku mujarrobat, ratib, burdah, barzanji dan sejenisnya yang sarat dengan penyimpangan dalam masalah tauhid; namun meninggalkan wirid pagi dan sore dan sunnah-sunnah lain yang diajarkan baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Bukankah ini namanya mengorek-korek sampah demi mencari tempe basi, dan meninggalkan hidangan lezat yang siap disantap?
Sungguh, seandainya kita menyibukkan diri dengan mengamalkan semua sunnah yang ada, niscaya kita tidak akan berhasil mengamalkan seluruhnya dalam dua puluh empat jam… lantas, untuk apa membuat “ibadah model baru” yang hanya menambah beban hidup kita? Renungkanlah kembali nasehat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang tercantum dalam mukaddimah buku ini (hal 15).

Terapi ketiga: sadarlah bahwa Allah tidak membutuhkan amal kita
Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya amalan yang kita lakukan -betapa pun besarnya- adalah bagi diri kita sendiri. Allah Ta’ala sama sekali tidak butuh terhadap amal kita. Biarpun manusia sedunia ini kafir semuanya, toh Allah Ta’ala tetaplah penguasa tunggal alam semesta…. Di sana masih ada jutaan, bahkan milyaran makhluk yang taat menyembah kepada-Nya. Para malaikat yang memenuhi angkasa raya… ikan-ikan di lautan… semut-semut dalam liangnya, bahkan setiap benda yang ada di langit maupun di bumi semuanya bertasbih kepada-Nya. Sebagaimana ayat:
يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَماَ فِي الأَرضِ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الحَمدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيءٍ قَدِيرٌ (التغابن: 1)
“Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi (senantiasa) bertasbih kepada Allah; hanya Allah lah yang mempunyai semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. At Taghaabun: 1)
Ingatlah bahwa Allah Ta’ala berfirman:
Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun” (Al Isra’: 44).
Dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ حَكِيْمِ بْنِ حِزَامٍ  قَالَ: بَيْنَمَا رَسُوْلُ اللهِ  فِي أَصْحَابِهِ إِذْ قَالَ لَهُمْ: أَتَسْمَعُونَ مَا أَسْمَعُ ؟ قَالُوْا : مَا نَسْمَعُ مِنْ شَيْءٍ ، قَالَ: إِنِّي لَأَسْمَعُ أَطِيْطَ السَّمَاءِ وَمَا تُلاَمُ أَنْ تَئِطَّ وَمَا فِيْهَا مَوْضِعُ شِبْرٍ إِلاَّ وَعَلَيْهِ مَلَكٌ سَاجِدٌ أَوْ قَائِمٌ (رواه الطحاوي في مشكل الآثار والطيراني في الكبير بإسناد على شرط مسلم)
Dari Hakiem bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, katanya: Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang bersama sahabatnya, beliau berkata: “Adakah kalian mendengar apa yang kudengar?” mereka menjawab: “Kami tak mendengar apa-apa…” lalu lanjut beliau: “Aku benar-benar mendengar suara berat yang ditimbulkan langit… dan wajar memang kalau dia merasa berat, karena tak tersisa sejengkal pun ruangan di sana melainkan ada malaikat yang sedang sujud atau berdiri” [14]).
Ingatlah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan dari Allah Ta’ala, bahwa Dia berfirman dalam sebuah hadits qudsi:
يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّي فَتَضُرُّونِي وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي فَتَنْفَعُونِي يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئًا يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا (رواه مسلم)
“Wahai hamba-Ku, kalian tak akan mampu mencelakai-Ku maupun memberi manfaat kepada-Ku… wahai hamba-Ku, kalaulah kalian seluruhnya sejak dari yang pertama hingga terakhir, baik dari jin maupun manusia; semuanya memiliki hati yang paling takwa, niscaya itu tak menambah kekuasaan-Ku sedikit pun… dan seandainya kalian seluruhnya sejak dari yang pertama hingga terakhir, dari jin dan manusia; semuanya memiliki hati paling bejat, niscaya itu tak mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun…” (H.R. Muslim no 2577).
Lihatlah… alangkah tidak berartinya manusia di sisi Allah. Alangkah sia-sianya amal yang selama ini kita lakukan dengan susah payah kalau sampai Allah tak sudi menerimanya. Kalau amal shalih saja belum tentu diterima oleh-Nya, maka bagaimana dengan bid’ah? Adakah Allah Ta’ala menaruh minat sedikit pun kepadanya? Renungkanlah baik-baik masalah ini, kemudian mari kita koreksi amal kita masing-masing.
Terakhir: mintalah kepada Allah Ta’ala agar senantiasa membimbing kita
Terapi ini tak kalah penting dari pendahulunya. Apalah artinya usaha kita yang mati-matian kalau tidak mendapat bimbingan Allah Ta’ala? Mintalah selalu kepada-Nya agar Dia menunjukkan kepada kita mana yang bid’ah dan mana yang sunnah. Hadirkanlah selalu hati kita tatkala membaca firman Allah:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
 “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus”
Bersimpuhlah di hadapan-Nya pada sepertiga malam terakhir… teteskanlah airmata kita di haribaan-Nya, mudah-mudahan Dia mencurahkan sebagian rahmat-Nya untuk kita. Keluhkanlah segala gundah gulana kepada-Nya… karena Dia lah yang menguasai hati hamba-Nya, dan Dia lah yang membolak-balikkan hati mereka… mintalah kepada-Nya agar hati kita selalu berada di jalan yang diridhai-Nya. Simaklah apa yang diriwayatkan oleh Ummul mukminin Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha,
كَانَ أَكْثَرُ دُعَائِهِ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَكْثَرَ دُعَاءَكَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ قَالَ يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِيٌّ إِلَّا وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ (رواه الترمذي وقَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ)
Doa yang paling sering dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah: (يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ) “Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku diatas agama-Mu”. Aku pun bertanya kepadanya: “Ya Rasulullah, alangkah seringnya engkau memanjatkan doa ini…” maka jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hai Ummu Salamah, tak ada seorang anak Adam pun melainkan hatinya berada diantara dua jemari Allah Ta’ala. Orang yang Dia kehendaki akan dijadikan-Nya istiqamah (lurus), atau justeru dibiarkan sesat” (H.R. Tirmidzi, dan beliau menghasankannya).[15])

-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel www.muslim.or.id



[1]  Disadur dari Mukhtasar Al I’tisham, hal 31-39, oleh Imam Asy Syathiby. Ikhtisar Sayyid ‘Alawi Abdul Qadir Assaqqaf -hafidhahullaah-.
[2]) H.R. Bukhari no 1870, 7306 dan Muslim no 1366, dari Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib dan Anas bin Malik.
[3]) H.R. Bukhari no 5058, 6931, dan Mulim no 1064 dari sahabat Abu Sa’id Al Khudry. Lafazh hadits diatas kami ambilkan dari hadits Bukhari no 5058.
[4]) Lihat: Mukhtasar Al I’tisham hal 33, oleh Imam Asy Syathiby. Ikhtisar oleh Sayyid ‘Alawi Abdul Qadir Assaqqaf.
[5]) Makna dari ‘sahabatku’ di sini bukanlah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi orang-orang yang menyertai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal keyakinan (Islam). Karenanya hadits ini tidak bisa dijadikan dalil bahwa para sahabat berpaling (murtad) dari Islam sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana keyakinan orang-orang syi’ah rafidhah yang terkutuk itu. Jadi kata ashaab disini ialah seperti yang diungkapkan oleh ulama-ulama belakangan ketika menukil pendapat orang yang semadzhab dengan mereka dengan menagatakan: (وقال أصحابنا كذا…) yang artinya: Orang-orang yang semadzhab dengan kami mengatakan begini dan begitu…
[6]) H.R. Bukhari no 6526, 4625, 4626, 4740, 3349 dan Muslim no 2860, dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas.
[7])  H.R. Muslim no 1017, dari sahabat Jarir bin Abdillah secara ringkas.
[8] H.R. Abu Syaikh dalam Tarikh Ashbahan, At Thabrani dalam Al Mu’jamul Ausath, Al Baihaqy dalam Syu’abul Iman dan lainnya. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Sayyid ‘Alawi Assaqqaf dalam Mukhtasar Al I’tisham hal 35. Dishahihkan pula oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no 1620.
[9]  H.R. Abu Dawud no 4597, Ahmad dalam Musnadnya (4/102) no 17061 dari sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Hadits ini dinyatakan shahih lighairihi oleh Syaikh Al Albani dalam Dhilalul Jannah, 1/2, hadits no 1&2. Perhatian: kalimat yang bercetak miring di atas hanya terdapat pada riwayat Ahmad, dan nampaknya ia merupakan perkataan Mu’awiyah yang tersisipkan dalam hadits, karena disebutkan bahwa beliau menyampaikan hadits tadi di waktu haji selepas shalat dhuhur (lihat Musnad Imam Ahmad 4/102). Jadi beliau mengatakan kata-kata tadi dalam kapasitasnya sebagai khalifah saat itu, wallaahu a’lam -pen.
[10]  H.R. Muslim no 249, Ibnu Majah no 4306, dan Ahmad dalam Musnadnya (2/300, 408) hadits no 7980, 8865 dan 9281. Hadits ini juga dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if  Sunan Ibnu Majah, hadits no 4306.
[11]  Lihat: Mukhtasar Al I’tisham, hal 38.
[12]  Ibid, hal 38.
[13] Tafsir Ibnu Katsier, 2/92. Oleh Abul Fida’ Ibnu Katsier, tahqiq: DR. Sami Muhammad Salamah, cet.2, th. 1420/1999, Daarut Taybah.
[14]) H.R. Ath Thahawy dalam Syarh Musykilil Aatsar 7/337, hadits no 5319 dan Ath Thabrany dalam Al Mu’jamul Kabir, dengan sanad yang shahih sesuai syarat Muslim. Lihat: Silsilah Ash Shahihah hadits no 852.
[15]) H.R. Tirmidzi no 3522, dan Ahmad (6/302, 315) dan dihasankan pula oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah hadits no 2091. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dari Anas bin Malik, dan Ahmad dari Aisyah.

41 keistimewaan Wanita (dalam Islam)


1. Doa wanita lebih makbul daripada lelaki kerana
sifat penyayang yang lebih kuat daripada lelaki. Ketika ditanya
kepada Rasulullah S.A.W. akan hal tersebut, jawab baginda: "Ibu
lebih penyayang daripada bapak dan doa orang yang penyayang tidak
akan sia-sia."

2. Wanita yang solehah (baik) itu lebih baik daripada
70 orang lelaki yang soleh.

3. Barang siapa yang menggembirakan anak perempuannya,
derajatnya seumpama orang yang sentiasa menangis kerana takutkan Allah
S.W.T. dan orang yang takutkan Allah S.W.T. akan diharamkan api
neraka ke atas tubuhnya.

4. Barang siapa yang membawa hadiah (barang makanan
dari pasar ke rumah)lalu diberikan kepada keluarganya, maka pahalanya
seperti bersedekah. Hendaklah mendahulukan anak perempuan daripada
anak lelaki. Maka barang siapa yang menyukakan anak perempuan seolah-
olah dia memerdekakan anak Nabi Ismail A.S.

5. Wanita yang tinggal bersama anak-anaknya akan tinggal bersama aku
(Rasulullah S.A.W.) di dalam syurga.

6. Barang siapa mempunyai tiga anak perempuan atau tiga saudara
perempuan atau dua anak perempuan atau dua saudara perempuan,
lalu dia bersikap ihsan dalam pergaulan dengan mereka dan mendidik
mereka dengan penuh rasa takwa serta bertanggungjawab, maka baginya
adalah syurga.

7. Daripada Aisyah r.a. "Barang siapa yang diuji dengan se Suatu
daripada anak-anak perempuannya, lalu dia berbuat baik kepada
mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya daripada api
neraka.

8. Syurga itu di bawah telapak kaki ibu.

9. Apabila memanggil akan engkau dua orang ibu bapamu, maka jawablah
panggilan ibumu dahulu.

10. Wanita yang taat berkhidmat kepada suaminya akan tertutup pintu-
pintu neraka dan terbuka pintu-pintu syurga. Masuklah dari mana-mana
pintu yang dia kehendaki dengan tidak dihisab.

11. Wanita yang taat akan suaminya, semua ikan-ikan di laut, burung
di udara, malaikat di langit, matahari dan bulan, semuanya
beristighfar baginya selama mana dia taat kepada suaminya dan
direkannya (serta menjaga sembahyang dan puasanya).

12. Aisyah r.a. berkata "Aku bertanya kepada Rasulullah S.A.W.,
siapakah yang lebih besar haknya terhadap wanita? Jawab
baginda, "Suaminya." "Siapa pula berhak terhadap lelaki?" Jawab
Rasulullah S.A.W. "Ibunya."

13. Perempuan apabila sembahyang lima waktu, puasa bulan Ramadan,
memelihara kehormatannya serta taat akan suaminya, masuklah dia dari
pintu syurga mana sahaja yang dia kehendaki.

14. Tiap perempuan yang menolong suaminya dalam urusan agama, maka
Allah S.W.T. memasukkan dia ke dalam syurga lebih dahulu daripada
suaminya (10,000 tahun).

15. Apabila seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya, maka
beristighfarlah para malaikat untuknya. Allah S.W.T. mencatatkan
baginya setiap hari dengan 1,000 kebaikan dan menghapuskan darinya
1,000 kejahatan.

16. Apabila seseorang perempuan mulai sakit hendak bersalin, maka
Allah S.W.T. mencatatkan baginya pahala orang yang berjihad pada
jalan Allah S.W.T.

17. Apabila seseorang perempuan melahirkan anak, keluarlah dia
daripada dosa-dosa seperti keadaan ibunya melahirkannya.

18. Apabila telah lahir (anak) lalu disusui, maka bagi ibu itu
setiap satu tegukan daripada susunya diberi satu kebajikan.

19. Apabila semalaman (ibu) tidak tidur dan memelihara anaknya yang
sakit, maka Allah S.W.T. memberinya pahala seperti memerdekakan 70
orang hamba dengan ikhlas untuk membela agama Allah S.W.T.

20. Seorang wanita solehah adalah lebih baik daripada 70 orang wali.

21. Seorang wanita yang jahat adalah lebih buruk dari pada 1,000
lelaki yang jahat.

22. 2 rakaat solat dari wanita yang hamil adalah lebih baik daripada
80 rakaat solat wanita yang tidak hamil.

23. Wanita yang memberi minum susu kepada anaknya daripada badannya
(susu badan)akan dapat satu pahala dari pada tiap-tiap titik susu
yang diberikannya.

24. Wanita yang melayani dengan baik suami yang pulang ke rumah di
dalam keadaan letih akan mendapat pahala jihad.

25. Wanita yang melihat suaminya dengan kasih sayang dan suami yang
melihat isterinya dengan kasih sayang akan dipandang Allah dengan
penuh rahmat.

26. Wanita yang menyebabkan suaminya keluar dan berjuang ke jalan
Allah dan kemudian menjaga adab rumah tangganya akan masuk syurga
500 tahun lebih awal daripada suaminya, akan menjadi ketua 70,000
malaikat dan bidadari dan wanita itu akan dimandikan di dalam
syurga, dan menunggu suaminya dengan menunggang kuda yang dibuat
daripada yakut.

27. Wanita yang tidak cukup tidur pada malam hari kerana menjaga
anak yang sakit akan diampunkan oleh Allah akan seluruh dosanya
dan bila dia hiburkan hati anaknya Allah memberi 12 tahun pahala
ibadat.

28. Wanita yang memerah susu binatang dengan "bismillah" akan
didoakan oleh binatang itu dengan doa keberkatan.

29. Wanita yang menguli tepung gandum dengan "bismillah", Allah akan
berkatkan rezekinya.

30. Wanita yang menyapu lantai dengan berzikir akan mendapat pahala
seperti meyapu lantai di baitullah.

31. Wanita yang hamil akan dapat pahala berpuasa pada siang hari.

32. Wanita yang hamil akan dapat pahala beribadat pada malam hari.

33. Wanita yang bersalin akan mendapat pahala 70 tahun solat dan
puasa dan setiap kesakitan pada satu uratnya Allah mengurniakan
satu pahala haji.

34. Sekiranya wanita mati dalam masa 40 hari selepas bersalin, dia
akan dianggap sebagai mati syahid.

35. Jika wanita melayani suami tanpa khianat akan mendapat pahala 12
tahun solat.

36. Jika wanita menyusui anaknya sampai cukup tempo(2½ thn), maka
malaikat-malaikat dilangit akan khabarkan berita bahwa syurga wajib
baginya.

37. Jika wanita memberi susu badannya kepada anaknya yang menangis,
Allah akan memberi pahala satu tahun solat dan puasa.

38. Jika wanita memicit/mijat suami tanpa disuruh akan mendapat
pahala 7 tola emas dan jika wanita memicit suami bila disuruh
akan mendapat pahala 7 tola perak.

39. Wanita yang meninggal dunia dengan keredhaan suaminya akan
memasuki syurga.

40. Jika suami mengajarkan isterinya satu masalah akan mendapat
pahala 80 tahun ibadat.

41. Semua orang akan dipanggil untuk melihat wajah Allah di akhirat,
tetapi Allah akan datang sendiri kepada wanita yang memberati