Kamis, 09 Agustus 2012

Kriteria Seorang Muadzin

Orang yang beradzan (muadzin) memiliki keutamaan yang sangat mulia di sisi Allah Azza wa Jalla, hal ini berdasarkan keterangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits-haditsnya yang shahih. Di antara keutamaan muadzin adalah:
1. Seluruh makhluk yang mendengar adzan akan menjadi saksi pada hari kiamat.
2. Muadzin akan dipanjangkan lehernya [1] nanti pada hari kiamat.
3. Syetan lari terbirit-birit mendengar suara adzan dan iqamat.
4. Muadzin akan diampuni dosa-dosanya.
5. Muadzin akan mendapat pahala dari seluruh jama’ah yang hadir di masjid tersebut.
6. Muadzin akan mendapat balasan surga dan keluar dari neraka.
Lebih utama mana, muadzin atau imam?
Terjadi perselisihan di antara ulama tentang mana yang lebih utama dari perkara ini. Sebagian ulama mengatakan bahwa kedudukan muadzin lebih utama dari imam. Mereka yang berpendapat seperti ini adalah Imam Asy Syafi’i dalam kitabnya Al Umm, Imam An Nawawi dan juga Asy Syaikh Ibnu Utsaimin.
Sebagian ulama mengatakan bahwa kedudukan imam lebih tinggi. Di antara mereka (dari kalangan mutaakhirin) adalah Asy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajury. Di antara bukti yang menunjukkannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Khulafaur Rasyidin (yang mereka adalah imam) tidak ada satupun yang menjadi muadzin.
Golongan yang mengutamakan muadzin menjawabnya bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan khulafaur rasyidin tidak beradzan disebabkan sibuk dengan urusan umat dan memimpin kaum muslimin, sedangkan muadzin dituntut untuk selalu siaga, cermat, dan berlaku amanah dalam menentukan waktu-waktu shalat sehari semalam. Sehingga menggabungkan ke-imam-an dan adzan bagi seorang pemimpin/khalifah adalah perkara yang berat.
Dalam hal ini Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Andaikata saya mampu untuk beradzan sekaligus memegang pemerintahan niscaya saya akan beradzan.”
Penulis simpulkan, bahwa dalil-dalil yang berkenaan dengan keutamaan adzan lebih banyak. Namun kedua amalan ini masing-masing mempunyai keutamaan. Ada keutamaan adzan yang tak didapat oleh imam dan ada pula keutamaan imam yang tidak didapat oleh muadzin. Wallahu a’lam.
Kriteria Seorang Muadzin
Seorang muadzin hendaknya memiliki sifat-sifat berikut:
1. Muslim dan berakal.
Para ulama menyebutkan bahwa di antara syarat sahnya adzan adalah Islam dan berakal. Sehingga tidak sah adzannya orang kafir atau orang gila. Dalil yang menunjukkan tentang masalah ini adalah firman Allah:
“Dan kalaulah mereka berbuat syirik niscaya gugurlah amalan mereka semuanya.” (Al An’am: 88)
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Terangkat pena (pencatat amal) dari tiga jenis manusia. Anak kecil sampai baligh, orang yang tertidur hingga dia bangun dan orang gila sampai dia sadar.” (HR. Ahmad dan Ash-habus Sunan)
2. Baik agamanya.
Hendaklah muadzin bersifat adil. Adapun jika muadzin adalah orang yang menampakkan kemunafikan maka para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang rajih adalah yang menyatakan sahnya. Namun jika ada orang yang adil maka tentunya orang tersebut yang diutamakan.
Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepada kalian orang fasiq membawa berita maka hendaklah dia memeriksa dengan teliti.” (Al Hujurat: 6)
Dan dalam riwayat lain dengan lafadz “ujilah kebenaran beritanya”.
3. Baligh.
Syarat yang ketiga, hendaknya muadzin telah baligh. Namun bila keadaan terpaksa, adzan anak kecil yang belum baligh tetap dinilai sah. Pernah terjadi di zaman Nabi, seorang shahabat bernama Amr bin Abu Salamah Al Jurmy menjadi imam pada suatu kaum sementara umurnya baru 6 tahun. Bila anak kecil sah menjadi imam maka sudah selayaknya sah pula untuk jadi muadzin. Begitupun Anas bin Malik tidak mengingkari adzannya anak kecil.
4. Memiliki sifat amanah.
Hendaknya muadzin adalah seorang yang amanah/bisa dipercaya, sebab adzan berkaitan dengan waktu sholat. Adzannya orang yang tidak amanah sulit dipercaya, apakah tepat waktunya atau tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Imam adalah penanggung jawab sedangkan muadzin adalah orang yang bisa dipercaya…” (HR. Ahmad (6872), dll dari Abu Hurairah)
5. Bersuara lantang dan bagus.
Hendaknya suara muadzin itu bersuara lantang dan bagus. Demikianlah yang dituntunkan oleh Nabi. Sebagaimana perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Abdullah bin Zaid:
“Lakukanlah bersama Bilal, ajarkan kepadanya apa yang kamu lihat dalam mimpimu. Dan hendaklah dia beradzan karena dia lebih tinggi dan bagus suaranya dari kamu.” (HR. Tirmidzi (174) dan Ibnu Majah (698) dari Abdullah bin Zaid)
Dan juga sabda beliau:
“Jika kalian adzan, angkatlah suara kalian karena tidaklah ada makhluk Allah yang mendengar adzan kalian, baik jin, manusia, atau apa saja kecuali masing-masing mereka akan menjadi saksi pada hari kiamat.” (HR. Bukhari (574) dari Abu Said Al Khudri)
Mana yang diutamakan, suara keras atau bagus?
Sebagaimana dibahas pada bab sebelumnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memilih Bilal untuk melakukan adzan, padahal yang melihat dalam mimpi adalah Abdullah bin Zaid dan Umar bin Al Khaththab yang tentunya mereka lebih tahu caranya daripada Bilal. Adapun tentang suara, maka suara Umar juga keras/lantang. Namun demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memilih Bilal daripada Umar. Ini menunjukkan bahwa suara Bilal disamping jeras juga lebih merdu dibandingkan keduanya sebagaimana dalam hadits:
“Sesungguhnya dia (Bilal) lebih lantang dan merdu suaranya dibandingkan engkau (Abdullah bin Zaid).” (HR. Tirmidzi dari Abdullah bin Zaid)
Berdasarkan hadits ini maka disimpulkan bahwa suara yang bagus lebih diutamakan daripada suara yang keras. Jika dua orang sama-sama memiliki suara bagus dan keras maka yang diutamakan adalah yang paling mengerti waktu-waktu shalat, dan begitu seterusnya.
Bolehkah muadzin meminta upah dari pekerjaannya?
Hendaknya bagi muadzin tidak mengambil upah dalam beradzan, karena Allah menjanjikan pahala besar bagi seorang muadzin. Bahkan secara tegas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Jadikan muadzin yang tidak mengambil upah dalam adzannya.” (HR. Abu Dawud (447) dari Utsman bin Abil Ash)
Sebab bila tujuan dari adzan bukan untuk Allah dan hanya mengharapkan dunia semata, maka selain tidak mendapat pahala, orang tersebut akan mendapat siksa dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan amalan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang di akhirat tidak akan memperoleh apa-apa kecuali neraka dan lenyaplah semua yang mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang mereka usahakan.” (Hud: 15-16)
Itulah balasan orang yang tujuannya hanya mencari dunia tanpa mengharap pahala di akhirat.
Adapun seorang muadzin yang melakukan adzannya dengan ikhlas untuk Allah namun di lain sisi ia juga meminta upah dari adzannya maka hal ini diperbolehkan. Sebagaimana hal ini dinukilkan oleh Ibnu Qudamah. Demikian pula pendapat Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, dan lain-lain.
Terlebih jika dalam negara tersebut terdapat Baitul Mal seperti Saudi, Emirat, Kuwait dll. Negara-negara tersebut menggaji para muadzin, dan tidak ada ulama yang mengingkarinya. Wallahu a’lam.
Ketentuan dan Tata Cara Adzan
Seorang muadzin hendaknya memperhatikan perkara-perkara berikut:
1. Suci dari hadats besar dan kecil.
Sudah selayaknya seorang muadzin dalam keadaan suci dari hadats besar maupun kecil. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah mencintai orang yang gemar bertaubat dan mensucikan diri.” (Al Baqarah: 222)
Dan dalam hadits disebutkan:
“Suatu hari aku (bilal) berwudlu kemudian aku berdiri untuk melakukan adzan shalat.” (HR. Abu Dawud, hasan shahih)
Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuri menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan disyariatkannya wudlu ketika hendak adzan. Bila terpaksa dilakukan dalam keadaan junub maka hukumnya makruh namun adzannya tetap sah.
2. Adzan dengan berdiri.
Disunnahkan bagi seorang muadzin untuk adzan denan berdiri. Sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Berdirilah wahai Bilal kemudian serukanlah adzan untuk shalat.” (HR. Tirmidzi (175) dari Abdullah bin Zaid)
Sebagian ulama mengatakan bahwa kata “Qum” (berdirilah) adalah perintah untuk menunaikan adzan dan bukan perintah untuk berdiri. Maka para ulama mengatakan bahwa disunnahkan bagi muadzin untuk berdiri tapi jika ia melakukan dengan duduk maka adzannya sah.
3. Menghadap kiblat.
Disunnahkan pula bagi orang yang adzan untuk menghadap kiblat. Ibnul Mundzir telah menukilkan ijma’ dalam hal ini. Dan amalan para ulama salaf, ketika mereka membaca Qur’an, bermajelis ta’lim, muraja’ah hadits, dzikir dan sebagainya mereka enggan untuk menghadap selain arah kiblat.
Arah kiblat mempunyai keutamaan, oleh karenanya kita dilarang untuk meludah ke arah kiblat waktu shalat sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Jika kalian dalam keadaan shalat maka janganlah kalian meludah ke arah kiblat.” (HR. Abu Dawud (404) dari Thariq bin Abdillah Al Muhariby)
Sehingga kaum muslimin hendaknya pun melakukan dzikir kepada Allah menghadap kiblat begitu pun tatkala menyerukan adzan yang merupakan syariat yang mulia.
Namun menghadap kiblat bukanlah syarat sahnya adzan, sehingga adzan tetap dinilai sah meskipun muadzin tidak menghadap arah kiblat.
4. Adzan di tempat yang tinggi.
Disunnahkan pula untuk adzan di tempat yang tinggi sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari seorang wanita Bani Najjar ia berkata:
“Adalah rumahku paling tinggi di antara rumah-rumah yang berada di sekeliling masjid. Dan waktu itu Bilal beradzan subuh. Dia datang waktu sahur kemudian duduk di atas rumah untuk melihat fajar. Kalau dia sudah melihat maka dia berjalan untuk beradzan.” (HR. Abu Dawud 435)
Tujuan adzan di tempat tinggi adalah agar suaranya bisa terdengar di segala penjuru. Namun dengan kemajuan teknologi, kini suara adzan bisa dikuatkan dengan mikrofon sehingga suara lebih keras dan menjangkau berbagai penjuru. Adzan yang semacam ini sah. Dan tidak ada ulama zaman ini yang mengingkari hal tersebut seperti Asy Syaikh Ibnu Baz, Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’y, Asy Syaikh Ibnu Utsaimin, Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi dan sebagainya.
5. Memperhatikan tajwid.
Seorang muadzin hendaknya memperlambat bacaan adzan dan mempercepat bacaan iqamah. Dan hendaknya pula seorang muadzin benar-benar menguasai ilmu tajwid. Menerapkan tajwid dalam adzan adalah kewajiban sebagaimana dalam bacaan Al Qur’an. Hanya saja ukuran panjang dari mad far’i (Mad Ja’iz Munfashil) pada bacaan adzan ada ketentuan tersendiri. Para ulama berbeda pendapat. Ada yang menyatakan bahwa yang afdhal adalah 10 harakat atau 14 harakat. Ada pula yang berpendapat bahwa yang lebih utama adalah mengikuti kaidah tajwid yaitu sekitar 6 harakat. Wallahu a’lam.
6. Meletakkan jari-jari di telinga ketika adzan.
Salah satu cara agar suara adzan bisa keras dan bagus adalah dengan memasukkan jari ke lubang telinga. Jumhur ulama mengatakan sunnah bagi muadzin untuk meletakkan jari tangannya ke dalam dua lubang telinganya ketika adzan. Sesuai dengan sabda hadits berikut:
Dari Abu Juhaifah ia berkata, “Aku melihat Bilal adzan dan aku ikuti bibirnya ke arah sini dan ke arah situ dan jari tangannya berada di dalam kedua lubang telinganya.” (HR. Bukhari (598), Muslim (777) dari Abu Juhaifah)
7. Menengok ke kanan dan ke kiri ketika haya’alatain.
Disunnahkan bagi muadzin ketika mengucapkan haya’alatain untuk menengok ke kanan dan kiri tanpa diikuti badannya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Saya berusaha mengikuti bibirnya, mengucapkan ke kanan dan kiri hayya ‘alash shalah – hayya ‘alal falaah.” (HR. Bukhari Muslim dari Abu Juhaifah)
Disebutkan oleh Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dalam Asy Syarhul Mumti’, “Tidak sepantasnya bagi muadzin setelah mengucapkan hayya’alatain baru menengok. Ini tidak ada asalnya. Demikian pula ketika salam dalam shalat. Jika ia lupa menengok ke kanan atau ke kiri karema lupa atau tidak tahu hukumnya maka adzannya sah dan bagi yang sudah tahu hendaklah dia mengamalkannya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
[Diambil dengan diringkas dari buku "Adzan Keutamaan, Ketentuan dan 100 Kesalahannya" karya Al Ustadz Abu Hazim Muhsin bin Muhammad Bashori, penerbit: Daarul Atsar, hal. 17-18, 21-23, 49-59, dan 74-76]
____________________
[1] Para ulama berselisih paham dalam memaknakan lafazh “panjang lehernya”,
a) Sebagian ulama memaknai sesuai dhahirnya, bahwa pada hari kiamat para muadzin lehernya paling panjang di antara makhluk Allah yang lain (secara hakiki).
b) Sebagian lagi mengatakan bahwa tatkala manusia berkeringat dan tergenang dalam keringatnya, di antara mereka ada yang keringatnya sampai mata kaki, pinggang, mulut, bahkan sebagian lagi tenggelam dalam keringatnya, maka di saat itulah Allah selamatkan para muadzin dengan dipanjangkan lehernya sehingga mereka tidak ditimpa madlarat sedikitpun.
c) Sebagian lagi mengatakan bahwa para muadzin paling banyak pengikutnya pada hari kiamat.
d) Sebagian lagi mengatakan bahwa para muadzin paling banyak mendapat pahala pada hari kiamat.
e) Sebagian lagi mengatakan bahwa para muadzin termasuk golongan yang paling mulia kedudukannya di akhirat nanti. Wallahu a’lam.

Rabu, 11 April 2012

Apakah Anda Termasuk Sebaik-baik Manusia?

Setiap orang mendambakan menjadi yang terbaik. Sebagai seorang muslim, orientasi hidup untuk menjadi yang terbaik bukanlah dinilai dari ukuran manusia semata, tetapi karena ridha Allah Ta’ala. Inilah cara mudah menjadi orang terbaik dalam konsep Islam.
Pertama, tidak ingkar melunasi hutang
 عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عن رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أنه فَقَالَ « خَيْرُكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً » متفق عليه
Artinya: Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan: “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang.” Muttafaqun ‘alaih
Kedua, belajar Al-Quran dan mengajarkannya
عَنْ عُثْمَانَ – رضى الله عنه- عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ» رواه البخاري
Artinya: “Ustman bin Affan radhiyallahu ‘anhu berkata: “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-Quran dan mengajarkannya.” Hadits riwayat Bukhari.
Ketiga, yang paling diharapkan kebaikannya dan paling jauh keburukannya
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَقَفَ عَلَى أُنَاسٍ جُلُوسٍ فَقَالَ « أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِكُمْ مِنْ شَرِّكُمْ ». قَالَ فَسَكَتُوا فَقَالَ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ فَقَالَ رَجُلٌ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنَا بِخَيْرِنَا مِنْ شَرِّنَا. قَالَ « خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ …» رواه الترمذى
Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di hadapan beberapa orang, lalu bersabda: “Maukah kalian aku beritahukan sebaik-baik dan seburuk-buruk orang dari kalian?” Mereka terdiam, dan Nabi bertanya seperti itu tiga kali, lalu ada seorang yang berkata: “Iya, kami mau wahai Rasulullah, beritahukanlah kepada kami sebaik-baik dan buruk-buruk kami,” beliau bersabda: “Sebaik-sebaik kalian adalah orang yang diharapkan kebaikannya dan sedangkan keburukannya terjaga…” Hadits riwayat Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ (no. 2603)
Keempat, menjadi suami yang paling baik terhadap keluarganya
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى. رواه الترمذى
Artinya: “Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallau ‘alaihi wasallam berasabda: “Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” Hadits riwayat Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Ash Shahihah (no. 285).
Kelima, yang paling baik akhlaqnya dan menuntut ilmu
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «خَيْرُكُمْ إِسْلاَماً أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاَقاً إِذَا فَقِهُوا» رواه أحمد
Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik kalian islamnya adalah yang paling baik akhlaq jika mereka menuntut ilmu.” Hadits riwayat Ahmad dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ (no. 3312)

Keenam, yang memberikan makanan

عَنْ حَمْزَةَ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ رضي الله عنه قَالَ: فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «خَيْرُكُمْ مَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ» رواه أحمد
Artinya: “Hamzah bin Shuhaib meriwayatkan dari bapaknya radhiyallahu ‘anhu yang berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang memberikan makanan.” Hadits riwayat Ahmad dan dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ (no. 3318)
Ketujuh, yang panjang umur dan baik perbuatannya
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ رضي الله عنه أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ خَيْرُ النَّاسِ قَالَ «مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ» رواه الترمذى
Artinya: “Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa ada seorang Arab Badui berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Rasulullah, siapakah sebaik-baik manusia?” beliau menjawab: “Siapa yang paling panjang umurnya dan baik amalannya.” Hadits riwayat Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahihut Targhib wat Tarhib (no. 3363).
Kedelapan, yang paling bermanfaat bagi manusia
عَنِ جابر، رَضِيَ الله عَنْهُمَا، قَالَ : قال رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم: خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Artinya: “Jabir radhiyallau ‘anhuma bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” Hadits dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ (no. 3289).
*) Ditulis oleh Abu Abdillah Ahmad Zain, Islamic Cultural Center 1430 H, Dammam KSA
Penulis: Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc
Artikel www.muslim.or.id

Rahasia Syukur, Sabar, dan Istighfar

Dalam mukaddimah kitab Al Waabilush Shayyib, Imam Ibnul Qayyim mengulas tiga hal di atas dengan sangat mengagumkan. Beliau mengatakan bahwa kehidupan manusia berputar pada tiga poros: Syukur, Sabar, dan Istighfar. Seseorang takkan lepas dari salah satu dari tiga keadaan:
1- Ia mendapat curahan nikmat yang tak terhingga dari Allah, dan inilah mengharuskannya untuk bersyukur. Syukur memiliki tiga rukun, yang bila ketiganya diamalkan, berarti seorang hamba dianggap telah mewujudkan hakikat syukur tersebut, meski kuantitasnya masih jauh dari ‘cukup’. Ketiga rukun tersebut adalah: a- Mengakui dalam hati bahwa nikmat tersebut dari Allah. b-Mengucapkannya dengan lisan. c-Menggunakan kenikmatan tersebut untuk menggapai ridha Allah, karena Dia-lah yang memberikannya.
Inilah rukun-rukun syukur yang mesti dipenuhi
2- Atau, boleh jadi Allah mengujinya dengan berbagai ujian, dan kewajiban hamba saat itu ialah bersabar. Definisi sabar itu sendiri meliputi tiga hal: a-Menahan hati dari perasaan marah, kesal, dan dongkol terhadap ketentuan Allah. b-Menahan lisan dari berkeluh kesah dan menggerutu akan takdir Allah. c-Menahan anggota badan dari bermaksiat seperti menampar wajah, menyobek pakaian, (atau membanting pintu, piring) dan perbuatan lain yang menunjukkan sikap ‘tidak terima’ thd keputusan Allah.
Perlu kita pahami bahwa Allah menguji hamba-Nya bukan karena Dia ingin membinasakan si hamba, namun untuk mengetes sejauh mana penghambaan kita terhadap-Nya. Kalaulah Allah mewajibkan sejumlah peribadatan (yaitu hal-hal yang menjadikan kita sebagai abdi/budak-nya Allah) saat kita dalam kondisi lapang; maka Allah juga mewajibkan sejumlah peribadatan kala kita dalam kondisi sempit.
Banyak orang yang ringan untuk melakukan peribadatan tipe pertama, karena biasanya hal tersebut selaras dengan keinginannya. Akan tetapi yang lebih penting dan utama adalah peribadatan tipe kedua, yang sering kali tidak selaras dengan keinginan yang bersangkutan.
Ibnul Qayyim lantas mencontohkan bahwa berwudhu di musim panas menggunakan air dingin; mempergauli isteri cantik yang dicintai, memberi nafkah kepada anak-isteri saat banyak duit; adalah ibadah. Demikian pula berwudhu dengan sempurna dengan air dingin di musim dingin dan menafkahi anak-isteri saat kondisi ekonomi terjepit, juga termasuk ibadah; tapi nilainya begitu jauh antara ibadah tipe pertama dengan ibadah tipe kedua. Yang kedua jauh lebih bernilai dibandingkan yang pertama, karena itulah ibadah yang sesungguhnya, yang membuktikan penghambaan seorang hamba kepada Khaliqnya.
Oleh sebab itu, Allah berjanji akan mencukupi hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman Allah,
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ
Bukankah Allah-lah yang mencukupi (segala kebutuhan) hamba-Nya?” (QS. Az Zumar: 36).
Tingkat kecukupan tersebut tentulah berbanding lurus dengan tingkat penghambaan masing-masing hamba. Makin tinggi ia memperbudak dirinya demi kesenangan Allah yang konsekuensinya harus mengorbankan kesenangan pribadinya, maka makin tinggi pula kadar pencukupan yang Allah berikan kepadanya. Akibatnya, sang hamba akan senantiasa dicukupi oleh Allah dan termasuk dalam golongan yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:
إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ وَكَفَى بِرَبِّكَ وَكِيلًا
(Sesungguhnya, engkau (Iblis) tidak memiliki kekuasaan atas hamba-hamba-Ku, dan cukuplah Rabb-mu (Hai Muhammad) sebagai wakil (penolong)” (QS. Al Isra’: 65).
Hamba-hamba yang dimaksud dalam ayat ini adalah hamba yang mendapatkan pencukupan dari Allah dalam ayat sebelumnya, yaitu mereka yang benar-benar menghambakan dirinya kepada Allah, baik dalam kondisi menyenangkan maupun menyusahkan. Inilah hamba-hamba yang terjaga dari gangguan syaithan, alias syaithan tidak bisa menguasai mereka dan menyeret mereka kepada makarnya, kecuali saat hamba tersebut lengah saja.
Sebab bagaimana pun juga, setiap manusia tidak akan bebas 100% dari gangguan syaithan selama dia adalah manusia. Ia pasti akan termakan bisikan syaithan suatu ketika. Namun bedanya, orang yang benar-benar merealisasikan ‘ubudiyyah (peribadatan) kepada Allah hanya akan terganggu oleh syaithan di saat dirinya lengah saja, yakni saat dirinya tidak bisa menolak gangguan tersebut… saat itulah dia termakan hasutan syaithan dan melakukan pelanggaran.
dengan demikian, ia akan beralih ke kondisi berikutnya:
3- Yaitu begitu ia melakukan dosa, segera lah ia memohon ampun (beristighfar) kepada Allah. Ini merupakan solusi luar biasa saat seorang hamba terjerumus dalam dosa. Bila ia hamba yang bertakwa, ia akan selalu terbayang oleh dosanya, hingga dosa yang dilakukan tadi justeru berdampak positif terhadapnya di kemudian hari. Ibnul Qayyim lantas menukil ucapan Syaikhul Islam Abu Isma’il Al Harawi yang mengatakan bahwa konon para salaf mengatakan: “Seseorang mungkin melakukan suatu dosa, yang karenanya ia masuk Jannah; dan ia mungkin melakukan ketaatan, yang karenanya ia masuk Neraka”. Bagaimana kok begitu? Bila ALlah menghendaki kebaikan atas seseorang, Allah akan menjadikannya terjerumus dalam suatu dosa (padahal sebelumnya ia seorang yang shalih dan gemar beramal shalih). Dosa tersebut akan selalu terbayang di depan matanya, mengusik jiwanya, mengganggu tidurnya dan membuatnya selalu gelisah. Ia takut bahwa semua keshalihannya tadi akan sia-sia karena dosa tersebut, hingga dengan demikian ia menjadi takluk di hadapan Allah, takut kepada-Nya, mengharap rahmat dan maghfirah-Nya, serta bertaubat kepada-Nya. Nah, akibat dosa yang satu tadi, ia terhindar dari penyakit ‘ujub (kagum) terhadap keshalihannya selama ini, yang boleh jadi akan membinasakan dirinya, dan tersebab itulah ia akan masuk Jannah.
Namun sebaliknya orang yang melakukan suatu amalan besar, ia bisa jadi akan celaka akibat amalnya tersebut. Yakni bila ia merasa kagum dengan dirinya yang bisa beramal ‘shalih’ seperti itu. Nah, kekaguman ini akan membatalkan amalnya dan menjadikannya ‘lupa diri’. Maka bila Allah tidak mengujinya dengan suatu dosa yang mendorongnya untuk taubat, niscaya orang ini akan celaka dan masuk Neraka.
Demikian kurang lebih penuturan beliau dalam mukaddimah kitab tadi, semoga kita terinspirasi dengan tulisan yang bersahaja ini.

Penulis: Ustadz Sufyan Basweidan, MA
Artikel Muslim.Or.Id

Rabu, 07 Maret 2012

Larangan Bagi Wanita Haid


Darah haid adalah darah normal pada wanita, berwarna hitam pekat dan berbau tidak enak, keluar dari tempat dan waktu tertentu. Darah ini penting sekali dipahami baik bagi wanita itu sendiri, termasuk pula bagi pria karena ia nantinya menjadi pendamping wanita atau memiliki sanak keluarga  yang mesti ia jelaskan tentang masalah ini. Yang muslim.or.id angkat kali ini mengenai masalah larangan bagi wanita haid. Yaitu hal-hal apa saja yang tidak boleh dilakukan. Dan hal yang dilarang ini juga berlaku bagi wanita nifas. Juga ada sedikit penjelasan mengenai hal-hal yang sebenarnya bukan larangan.
Larangan pertama: Shalat
Para ulama sepakat bahwa diharamkan shalat bagi wanita haid dan nifas, baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Dan mereka pun sepakat bahwa wanita haid tidak memiliki kewajiban shalat dan tidak perlu mengqodho’ atau menggantinya ketika ia suci.
Dari Abu Sai’d, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ ، وَلَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا
Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa? Itulah kekurangan agama si wanita. (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari no. 1951 dan Muslim no. 79)
Dari Mu’adzah, ia berkata bahwa ada seorang wanita yang berkata kepada ‘Aisyah,
أَتَجْزِى إِحْدَانَا صَلاَتَهَا إِذَا طَهُرَتْ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ كُنَّا نَحِيضُ مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلاَ يَأْمُرُنَا بِهِ . أَوْ قَالَتْ فَلاَ نَفْعَلُهُ
Apakah kami perlu mengqodho’ shalat kami ketika suci?” ‘Aisyah menjawab, “Apakah engkau seorang Haruri? Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk mengqodho’nya. Atau ‘Aisyah berkata, “Kami pun tidak mengqodho’nya.” (HR. Bukhari no. 321)
Larangan kedua: Puasa
Dalam hadits Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR. Muslim no. 335) Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haid dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’ puasanya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28/ 20-21)
Larangan ketiga: Jima’ (Hubungan intim di kemaluan)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum muslimin sepakat akan haramnya menyetubuhi wanita haid berdasarkan ayat Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.” (Al Majmu’, 2: 359) Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Menyetubuhi wanita nifas adalah sebagaimana wanita haid yaitu haram berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Al Fatawa, 21: 624)
Allah Ta’ala berfirman,
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari (hubungan intim dengan) wanita di waktu haid.” (QS. Al Baqarah: 222). Imam Nawawi berkata, “Mahidh dalam ayat bisa bermakna darah haid, ada pula yang mengatakan waktu haid dan juga ada yang berkata tempat keluarnya haid yaitu kemaluan. … Dan menurut ulama Syafi’iyah, maksud mahidh adalah darah haid.” (Al Majmu’, 2: 343)
Dalam hadits disebutkan,
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-
Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Al Muhamili dalam Al Majmu’ (2: 359) menyebutkan bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid, maka ia telah terjerumus dalam dosa besar.”
Hubungan seks yang dibolehkan dengan wanita haid adalah bercumbu selama tidak melakukan jima’ (senggama) di kemaluan. Dalam hadits disebutkan,
اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
Lakukanlah segala sesuatu (terhadap wanita haid) selain jima’ (di kemaluan).” (HR. Muslim no. 302)
Dalam riwayat yang muttafaqun ‘alaih disebutkan,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا ، فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يُبَاشِرَهَا ، أَمَرَهَا أَنْ تَتَّزِرَ فِى فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ يُبَاشِرُهَا . قَالَتْ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَمْلِكُ إِرْبَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa di antara istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang mengalami haid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin bercumbu dengannya. Lantas beliau memerintahkannya untuk memakai sarung agar menutupi tempat memancarnya darah haid, kemudian beliau tetap mencumbunya (di atas sarung). Aisyah berkata, “Adakah di antara kalian yang bisa menahan hasratnya (untuk berjima’) sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menahannya?”   (HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 293). Imam Nawawi menyebutkan judul bab dari hadits di atas, “Bab mencumbu wanita haid di atas sarungnya”. Artinya di selain tempat keluarnya darah haid atau selain kemaluannya.
Larangan keempat: Thawaf Keliling Ka’bah
Ketika ‘Aisyah haid saat haji, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
فَافْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى
 “Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji selain dari melakukan thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.”  (HR. Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211)
Larangan kelima: Menyentuh mushaf Al Qur’an
Orang yang berhadats (hadats besar atau hadats kecil) tidak boleh menyentuh mushaf seluruh atau sebagiannya. Inilah pendapat para ulama empat madzhab. Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al Waqi’ah: 79)
Begitu pula sabda Nabi ‘alaihish sholaatu was salaam,
لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Bagaimana dengan membaca Al Qur’an? Para ulama empat madzhab sepakat bolehnya membaca Al Qur’an bagi orang yang berhadats baik hadats besar maupun kecil selama tidak menyentuhnya.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Diperbolehkan bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al Qur’an menurut pendapat ulama yang paling kuat. Alasannya, karena tidak ada dalil yang melarang hal ini. Namun, seharusnya membaca Al Qur’an tersebut tidak sampai menyentuh mushaf Al Qur’an. Kalau memang mau menyentuh Al Qur’an, maka seharusnya dengan menggunakan pembatas seperti kain yang suci dan semacamnya (bisa juga dengan sarung tangan, pen). Demikian pula untuk menulis Al Qur’an di kertas ketika hajat (dibutuhkan), maka diperbolehkan dengan menggunakan pembatas seperti kain tadi.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 10: 209-210)
Hal-Hal yang Masih Dibolehkan bagi Wanita Haid dan Nifas
  1. Membaca Al Qur’an tanpa menyentuhnya.
  2. Berdzikir.
  3. Bersujud ketika mendengar ayat sajadah karena sujud tilawah tidak dipersyaratkan thoharoh menurut pendapat paling kuat.
  4. Menghadiri shalat ‘ied.
  5. Masuk masjid karena tidak ada dalil tegas yang melarangnya.
  6. Melayani suami selama tidak melakukan jima’ (hubungan intim di kemaluan).
  7. Tidur bersama suami.
Adapun tentang masalah lainnya, muslim.or.id akan membahasnya di kesempatan yang lain, bi idznillah.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

@ Riyadh, KSA, 13 Rabi’ul Awwal 1433 H
Penulis: Muhammad Abdul Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Prinsip Seorang Muslim Kala Mengais Rizki dan Ingin Sembuh dari Penyakit


Dalam mengais rezeki, hendaknya setiap muslim selalu berprinsip mencari yang halal, bukan sekedar mendapatkan yang banyak. Begitu pula saat menerima cobaan berupa sakit, maka hendaknya memperhatikan pengobatan yang disyariatkan agama, tidak berprinsip “yang penting cepat sembuh.” Mari kita perhatikan hal-hal yang menyangkut cara berpikir yang harus ada pada diri seorang muslim.
1. Rezeki setiap manusia bahkan setiap makhluk sudah dijamin Allah Ta’ala
{وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرض إِلا عَلَى الله رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ } [هود: 6]
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Al Lauh Al Mahfuz).” (QS. Huud: 6).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah ta’ala mengabarkan bahwasanya Dia Yang menjamin akan rezeki seluruh makhluk, dari seluruh binatang melata di bumi, besar kecil dan daratan atau lautannya.” (Lihat kitab Tafsir Al Quran Al Azhim, pada ayat di atas).
Syaikh As Sa’dy rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah seluruh yang berjalan di atas muka bumi baik dari manusia atau hewan darat atau laut, maka Allah Ta’ala telah menjamin rezeki dan makanan mereka, semuanya ditanggung Allah.” (Lihat kitab Taisir Al Karim Ar Rahman di dalam ayat di atas).
 {وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لا تَحْمِلُ رِزْقَهَا الله يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ} [العنكبوت: 60]
Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri.  Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Ankabut: 60).
2.  Rezeki setiap manusia sudah ditakdirkan Allah Ta’ala
Oleh karenanya, tidak akan pernah si A mengambil dan mendapatkan rezeki kecuali yang sudah ditakdirkan untuknya. Tidak akan pernah mungkin si A mengambil rezeki yang telah di tetapkan dalam takdir Allah untuk si B.
عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ عَنْ عَبْدِ الله رضى الله عنه قَالَ حَدَّثَنَا رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ « إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ فِى ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ فِى ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِىٌّ أَوْ سَعِيدٌ فَوَالَّذِى لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا ».
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan: “Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi ‘Alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi Mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan empat kata : Rizki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya. Maka demi Allah yang tiada Tuhan selainnya, ada seseorang di antara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada di antara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.” (HR. Tirmidzi).
A Hasan Al Bashri rahimahullah pernah ditanya: “Apa Rahasia di dalam zuhudmu di dalam dunia?” Beliau menjawab,
علمت بأن رزقي لن يأخذه غيري فاطمئن قلبي له , وعلمت بأن عملي لا يقوم به غيري فاشتغلت به , وعلمت أن الله مطلع علي فاستحيت أن أقابله على معصية , وعلمت أن الموت ينتظرني فأعددت الزاد للقاء الله
Aku telah mengetahui bahwa rezekiku tidak akan pernah ada yang mengambilnya selainku, maka tenanglah hatiku untuknya, dan aku telah mengetahui bahwa ilmuku tidak akan ada yang melaksanakannya selainku, maka aku menyibukkan diri dengannya, aku telah mengetahui bahwa Allah mengawasiku, maka aku malu berhadapan dengannya dalam keadaan maksiat, aku telah mengetahui bahwa kematian menghadangku, maka aku telah siapkan untuk bekal bertemu dengan Allah.”
قال البيهقي بسنده إلى مُحَمَّدَ بْنَ أَبِي عَبْدَانَ،أنه قَالَ: قِيلَ لِحَاتِمٍ الأصَمِّ: عَلَى مَا بَنَيْتَ أَمَرَكَ هَذَا مِنَ التَّوَكُّلِ؟ قَالَ: عَلَى أَرْبَعِ خِلالٍ: ” عَلِمْتُ أَنَّ رِزْقِي لا يَأْكُلُهُ غَيْرِي، فَلَسْتُ اهْتَمُّ لَهُ، وَعَلِمْتُ أَنَّ عَمَلِي لا يَعْمَلُهُ غَيْرِي، فَأَنَا مَشْغُولٌ بِهِ، وَعَلِمْتُ أَنَّ الْمَوْتَ يَأْتِينِي بَغْتَةً، فَأَنَا أُبَادِرَهُ، وَعَلِمْتُ أَنِّي بِعَيْنِ اللهِ فِي كُلِّ حَالٍ، فَأَنَا مُسْتَحْيِيٍ مِنْهُ “
Al Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Muhammad bin Abi Abdan beliau berkata: “Hatim Al Asham pernah bertanya: “Atas apa kamu membangun perkaramu ini adalah merupakan sikap tawakkal?“ Beliau berkata, “Di atas empat perkara: “Aku telah mengetahuI bahwa rezekiku tidak ada yang akan memakannya selainku, maka aku tidak memperhatikannya, aku telah mengetahui bahwa ilmuku tidak ada yang akan mengamalkannya selainku maka aku sibuk dengannya, aku telah mengetahui bajwa kematian akan mendatangiku secara tiba-tiba maka aku bersegera (mengambil bekal) dan aku telah mengetahui bahwa aku senantiasa dalam penglihatan Allah setiap saat, maka aku malu dari-Nya.” (Atsar riwayat Al Baihaqi).
3. Seorang manusia tidak akan pernah dicabut nyawanya melainkan sudah menyempurnakan rezeki yang ditakdirkan untuknya
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ الله رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم- «أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا الله وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا الله وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ».
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Allah dan perbaikilah di dalam mencari (rezeki), karena sesungguhnya setiap yang yang bernyawa tidak akan pernah mati sampai dia menyempurnakan rezekinya, meskipun kadang terlambat datang untuknya, maka bertakwalah kalian kepada Allah dan perbaikilah dalam mencari (rezeki), (yaitu) ambillah apa yang telah dihalalkan tinggalkanlah apa yang telah diharamkan.” (HR. Ibnu Majah).
4. Allah-lah satu-satu-Nya yang menyembuhkan penyakit
 {وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ} [الشعراء: 80]
 “Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy Syu’ara:80).
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ إِذَا أَتَى مَرِيضًا – أَوْ أُتِىَ بِهِ – قَالَ «أَذْهِبِ الْبَاسَ رَبَّ النَّاسِ ، اشْفِ وَأَنْتَ الشَّافِى لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا»
Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika menjenguk orang sakit atau di datangkan kepada beliau, beliau berdoa: “Adz-hibil ba’sa robban naasi, isyfi wa antasy syaafi, laa syifaa-a illa syifaa-uka, syifa-an laa yughodiru saqoman” (Hilangkanlah penyakit, wahai penguasa manusia, sembuhkanlah sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penyembuh, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan satu penyakit pun).” (HR. Bukhari).
Dan Allah telah memerintahkan kita untuk tidak berobat dengan sesuatu yang haram. Mari perhatikan perkataan seorang shahabat nabi yang mengambil 70 surat langsung dari mulut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ الله لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian di dalam sesuatu yang telah diharamkan-Nya atas kalian.” (HR. Bukhari).
5. Penyakit merupakan penebus dosa
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِى وَقَّاصٍ رضى الله عنه قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ الله أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً قَالَ «الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ يُبْتَلَى الْعَبْدُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ»
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau bersabda, “Para Nabi kemudian orang-orang yang di bawahnya kemudian orang-orang yang di bawahnya. Seorang hamba akan diuji sesuai dengan (kualitas) agamanya, jika di dalam agamanya terdapat kekuatan maka akan bertambah berat ujiannya, dan jika di dalam agamanya terdapat kelemahan maka dia akan diuji sesuai dengan kekuatan agamanaya. Masih saja ujian diarasakan oleh seorang hamba sampai dia berjalan di atas bumi dan akhirnya dalam keadaan tidak mempunyai dosa.” (HR. Ibnu Majah)
6. Sembuh atau tidak sembuh sudah ditakdirkan Allah Ta’ala
Terakhir, kawan pembaca…
Sesudah membaca tulisan singkat ini, insyaAllah kita muslim yang tidak akan pernah:
  • Menanggalkan akidah kita, hanya untuk mendapatkan harta dunia yang tidak kekal dan tidak akan bisa dibawa ke dalam kubur.
  • Menanggalkan akidah kita, hanya untuk mendapatkan kesembuhan dari penyakit.
Beberapa contoh menanggalkan akidah ketika mengais rezeki
  1. Meminta bantuan kepada jin, khadam, orang pintar, para dukun, tukang sihir dalam mendatangkan harta.
  2. Memakai jimat baik dicincin, di gantung di toko, di gantung di dalam rumah, yang diyakini pemulus rezeki.
  3. Memakai segala cara untuk mendapatkan harta baik dengan; menipu, mencuri, memalsukan data, korupsi, memalsukan barang dan sebagainya, dan ini poin lebih ringan daripada no 1 dan 2. Dan masih banyak cara yang lain yang haram.
Beberapa contoh menanggalkan akidah ketika berobat
  1. Mendatangi orang pintar, ahli magic spiritual yang mengobati dengan meminta bantuan jin.
  2. Memakai jimat yang diyakini menyembuhkan penyakit
  3. Membuat sesajen yang diperuntukkan kepada selain Allah sebagai syarat kesembuhan penyakit.
Tulisan singkat ini tidak lain agar kaum muslim lebih memperhatikan bagaimana mengais rezeki yang halal dan bagaimana berobat dengan cara yang halal, daripada hanya memperhatikan yang penting banyak dapat harta atau yang penting cepat sembuh, tetapi dapat murka dan siksa Allah Ta’ala.
Tapi jika dengan cara yang halal akhirnya banyak dapat rezeki dan cepat sembuh dari penyakit, maka itu adalah karunia dari Allah Ta’ala yang harus lebih disyukuri. Wallahu a’lam.

*) Ahad, 28 Shafar 1433H, Dammam KSA